Rabu, 12 Desember 2012

Bubur Bongkol Pisang Jaman Jepang




Tahun 1943 adalah masa penjajahan Jepang. Kekuasaan bala tentara Jepang telah merasuk ke desa-desa di Asia tenggara, menelusup ke dusun-dusun yang bahkan namanya tak ada dalam peta. Semua hasil bumi dirampas oleh Jepang untuk keperluan perang, semua benda logam termasuk alat-alat pertanian diambil, dilebur, diubah menjadi senjata.
Sastro Wiharjo, seorang carik desa berumur setengah baya memberanikan diri mendekati iring-iringan gerobak yang membawa gabah dari desanya. Dia mencoba memohon disisakan sedikit gabah untuk warga desanya. Tak ada jawaban selain sambaran gagang senjata yang menghampirinya. Gerakan reflek tangannya menangkis popor senapan. Sebuah pembangkangan.
Sebuah pembangkangan adalah hal yang tak bisa diterima Jepang sebagai penguasa. Segera dia diringkus, baju goninya dilepas, tangannya diikat dibelakang punggungnya. Dia lalu dipaksa jongkok, dijemur di tanah lapang dekat desa.
Ketika tentara Jepang yang menjaganya telah bosan dan harus kembali ke baraknya, ikatan tangannya dilepas dan dia disuruh pulang. Sesampai di rumah dia ke dapur dan mengambil cangkul bergagang panjang. Niatnya telah bulat, menghancurkan setidaknya satu kepala tentara Jepang.
Cangkul digenggamnya erat-erat, otot-ototnya menegang, matanya menjadi gelap. Langkahnya berat-berat, dia hendak keluar rumah. Di ruang tengah Surti, istrinya, tengah menyuapi anak-anaknya yang masih kecil-kecil dengan bubur bongkol pisang. Terampasnya semua hasil bumi memaksa orang makan apa saja yang bisa masuk dan mengganjal perut. Bongkol batang pisang ditumbuk, dimasak, dibumbui sedikit garam menjadi makanan utama. Surti telah mendengar apa yang terjadi pada suaminya dari orang-orang desa.
Subi yang berumur 7 tahun dan Sukad yang berumur 6 tahun duduk dibalai-balai bambu tanpa tikar tak berani meneruskan mengunyah bubur di mulut mereka. Mata mereka yang bulat cekung ketakutan memandangi ayah mereka. Dada mereka yang tanpa baju kembang kempis, tulang-tulang iga mereka berjajar bagai sederet bilah-bilah gambang gamelan. Dani anak perempuan terkecilnya belum mengerti apa yang terjadi. Dia hanya bisa merasakan aura amarah dan kegentingan yang luar biasa, dia menangis tanpa suara di gendongan ibunya. Surti berhenti menyuapi anak-anaknya, meletakkan cobek wadah bubur bongkol batang pisang, mengurai rambut dari sanggulnya, dan bersimpuh di tanah, di depan suaminya.
“Pakne Subi, ingat aku dan anak-anak.”
Matahari condong ke barat, panas tak lagi menyengat. Carik desa setengah baya yang oleh sahabat-sahabatnya biasa dipanggil kangmas juru itu perlahan membalikkan badannya, berjalan pelan ke dapur, meletakkan kembali cangkulnya lalu pergi ke sumur dan membasuh mukanya.