Tahun 1943 adalah masa penjajahan
Jepang. Kekuasaan bala tentara Jepang telah merasuk ke desa-desa di Asia
tenggara, menelusup ke dusun-dusun yang bahkan namanya tak ada dalam peta.
Semua hasil bumi dirampas oleh Jepang untuk keperluan perang, semua benda logam
termasuk alat-alat pertanian diambil, dilebur, diubah menjadi senjata.
Sastro Wiharjo, seorang carik desa berumur setengah baya
memberanikan diri mendekati iring-iringan gerobak yang membawa gabah dari
desanya. Dia mencoba memohon disisakan sedikit gabah untuk warga desanya. Tak
ada jawaban selain sambaran gagang senjata yang menghampirinya. Gerakan reflek
tangannya menangkis popor senapan. Sebuah pembangkangan.
Sebuah pembangkangan adalah hal yang tak bisa diterima
Jepang sebagai penguasa. Segera dia diringkus, baju goninya dilepas, tangannya
diikat dibelakang punggungnya. Dia lalu dipaksa jongkok, dijemur di tanah
lapang dekat desa.
Ketika tentara Jepang yang menjaganya telah bosan dan
harus kembali ke baraknya, ikatan tangannya dilepas dan dia disuruh pulang.
Sesampai di rumah dia ke dapur dan mengambil cangkul bergagang panjang. Niatnya
telah bulat, menghancurkan setidaknya satu kepala tentara Jepang.
Cangkul digenggamnya erat-erat, otot-ototnya menegang,
matanya menjadi gelap. Langkahnya berat-berat, dia hendak keluar rumah. Di
ruang tengah Surti, istrinya, tengah menyuapi anak-anaknya yang masih
kecil-kecil dengan bubur bongkol pisang. Terampasnya semua hasil bumi memaksa
orang makan apa saja yang bisa masuk dan mengganjal perut. Bongkol batang
pisang ditumbuk, dimasak, dibumbui sedikit garam menjadi makanan utama. Surti telah mendengar apa
yang terjadi pada suaminya dari orang-orang desa.
Subi
yang berumur 7 tahun dan Sukad yang berumur 6 tahun duduk dibalai-balai bambu
tanpa tikar tak berani meneruskan mengunyah bubur di mulut mereka. Mata mereka
yang bulat cekung ketakutan memandangi ayah mereka. Dada mereka yang tanpa baju
kembang kempis, tulang-tulang iga mereka berjajar bagai sederet bilah-bilah
gambang gamelan. Dani anak perempuan terkecilnya belum mengerti apa yang
terjadi. Dia hanya bisa merasakan aura amarah dan kegentingan yang luar biasa,
dia menangis tanpa suara di gendongan ibunya. Surti berhenti menyuapi
anak-anaknya, meletakkan cobek wadah bubur bongkol batang pisang, mengurai
rambut dari sanggulnya, dan bersimpuh di tanah, di depan suaminya.
“Pakne Subi, ingat aku dan anak-anak.”
Matahari condong ke barat, panas tak lagi menyengat.
Carik desa setengah baya yang oleh sahabat-sahabatnya biasa dipanggil kangmas juru itu perlahan
membalikkan badannya, berjalan pelan ke dapur, meletakkan kembali cangkulnya
lalu pergi ke sumur dan membasuh mukanya.