Reformasi politik di tingkat lokal adalah imbas dari reformasi politik di
tingkat nasional. Sistem politik yang sentralistik dikambinghitamkan sebagai
biang keladi terjadinya krisis politik dan ekonomi yang terjadi, yang ditandai
dengan olengnya kekuasaan presiden Suharto di pertengahan tahun 1990-an.
Turunnya Presiden Suharto dari tampuk kepresidenan di republik ini menandai
bermulanya proses reformasi politik. Agenda utama dalam reformasi tersebut
adalah desentralisasi dan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Kondisi
ideal yang ingin dicapai oleh kedua alur reformasi tersebut adalah
terlembaganya suatu good governance di semua tingkatan pemerintahan, yang
berpilarkan prinsip demokrasi dan otonomi.
Makalah ini berusaha untuk mencermati proses reformasi ke arah tersebut dari segi realisasi ide. Asumsinya adalah bahwa reformasi ke arah itu justru harus dilakukan dengan mengacu-pada nilai-nilai otonomi dan demokrasi itu sendiri. Jelasnya, demokratisasi mesti berlangsung secara demokratis, dan pengembangan otonomi daerah harus berpijak pada pemaknaan otonomi itu sediri secara tepat. Konsep ‘politik’ dalam makalah ini digunakan dalam konteks perjuangan antar berbagai ide dan realisasinya dalam berbagai konteks, tanpa harus terjebak pada keterlibatan aktor-aktor yang selama ini memakai atribut politik seperti partai politik atau lembaga perwakilan rakyat.
Ketika kita memaknai politik tidak hanya terbatas pada peran aktor-aktor tersebut, maka segera terlihat bahwa ada kumunitas kecil yang sebetulnya memegang peran kunci dalam menentukan nasib publik, namun mereka selama ini diasumsikan bersifat atau berperan secara a-politis. Komunitas kecil ini, dalam studi kebijakan, disebut sebagai epistemic community (komunitas epistemik).1 Istilah politik epistemik dalam makalah ini merujuk pada kiprah politik komunitas ini dalam menyediakan ide-ide perubahan, khususnya seputar pemaknaan dan penjabaran reformasi ke arah terlembaganya good governance.
Makalah ini berusaha untuk mencermati proses reformasi ke arah tersebut dari segi realisasi ide. Asumsinya adalah bahwa reformasi ke arah itu justru harus dilakukan dengan mengacu-pada nilai-nilai otonomi dan demokrasi itu sendiri. Jelasnya, demokratisasi mesti berlangsung secara demokratis, dan pengembangan otonomi daerah harus berpijak pada pemaknaan otonomi itu sediri secara tepat. Konsep ‘politik’ dalam makalah ini digunakan dalam konteks perjuangan antar berbagai ide dan realisasinya dalam berbagai konteks, tanpa harus terjebak pada keterlibatan aktor-aktor yang selama ini memakai atribut politik seperti partai politik atau lembaga perwakilan rakyat.
Ketika kita memaknai politik tidak hanya terbatas pada peran aktor-aktor tersebut, maka segera terlihat bahwa ada kumunitas kecil yang sebetulnya memegang peran kunci dalam menentukan nasib publik, namun mereka selama ini diasumsikan bersifat atau berperan secara a-politis. Komunitas kecil ini, dalam studi kebijakan, disebut sebagai epistemic community (komunitas epistemik).1 Istilah politik epistemik dalam makalah ini merujuk pada kiprah politik komunitas ini dalam menyediakan ide-ide perubahan, khususnya seputar pemaknaan dan penjabaran reformasi ke arah terlembaganya good governance.
Berhubung issue yang dibahas dalam makalah ini senantiasa melibatkan
konsep-konsep, maka makalah ini tidak sepenuhnya bersifat empirik. Sungguhpun
demikian, penyajiannya diupayakan se-empirik mungkin. Ilustrasi-ilustrai yang
yang dirujuk di sana sini sepanjang pembahasan makalah ini kebanyakan diambil
dari hasil sementara dari penelitian yang dilakukan di Wonogiri, Jawa Tengah.
Ketika presentasi makalah ini dilakukan, penelitian ini belum selesai.
Good Governance Sebagai Agenda Reformasi.
Semangat reformasi politik yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun
1997 adalah pembalikan karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama
beberapa dekade. Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan ingin dibalik menjadi
tatanan yang desentralistik, dan otoritarianisme ingin dibalik menjadi tatanan
pemerintahan yang demokratis. Regime kesemena-menaan penguasa ingin diganti
dengan regime pemihakan terhadap rakyat. Meskipun kenginan untuk melakukan
perubahan ke arah tersebut telah meluas, perubahan itu sendiri tidak bisa
berjalan dengan sendirinya. Perubahan tersebut hanya bisa difahami sebagai
hasil tarik ulur antara para pelaku politik utama. Hal ini sangat jelas
terlihat kalau kita fahami proses reformasi dari kerangka berfikir transisi
menuju demokrasi.2
Reformasi ini tidak bisa diprogram secara teknokratik oleh pemerintah.
Persoalannya, dalam banyak hal, justru ada pada pemerintah itu sendiri.
Terlepas dari persoalan seberapa mendalam perubahan telah terjadi, yang jelas, begitu
kata Satjipto Rahardjo, panoramanya sudah berubah.3 Pada tataran formal
berubahan sudah mulai merebak, namun pada tataran substantif perubahan masih
belum signifikan. Adanya persoalan tarik ulur ini menjelaskan mengapa yang
terjadi adalah reformasi setengah hati.4
Masyarakat menaruh harapan besar terhadap reformasi politik di tingkat
lokal. Tantangan untuk mewujudkan sangatlah berat karena dua aras perubahan
ingin direngkuh dalam “sekali dayung”. Desentralisasi sedikit banyak
menghasilkan keterkejutan pemerintah daerah mengingat selama ini tidak pernah
merasakan bagaimana memiliki otonomi. Keterkejutan ini akan diperparah oleh
tuntutan agar kekuasaan luas yang baru diterimanya tidak menghidupkan
otoritarianisme di tingkat lokal.
Dambaan bagi terlembaganya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik
(local good governanve) mengedepan bersamaan dengan melimpahnya caci-maki
penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter yang dipraktekkan
semasa kepemimpinan Presiden Suharto. Ukuran yang populer saat ini untuk
melihat baik tidaknya penyelenggaraan pemerintahan dirumuskan berdasarkan
idealitas ‘otonomi’ dan ‘demokrasi’. Makalah ini akan juga menggunakan kerangka
pemikiran yang populer ini, namun perlu untuk mendudukkan bahwa pada masa
kejayaan pemerintahan Suharto, pola penyelenggaraan pemerintahan yang
dilembagakan saat itu, adalah pola yang dianggap terbaik.
Jargon good governance memang baru belakangan ini memperoleh popularitas,
namun bukan berarti bahwa Presiden Suharto tidak memiliki konsep
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Persoalannya, adalah apa yang waktu itu
difahami sebagai good governanve kini sudang dianggap sebagai pola yang usang.
Singkat kata, reformasi politik di tingkat lokal melibatkan proses penting yang
tidak mudah dilihat, yakni melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep tentang
penyelenggaraan pemerintahan. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa hal
penting yang perlu di catat.
Pertama, konsep penyelenggaraan pemerintahan sudah bersifat build in pada
benak dan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pemerintahan. Sungguhpun
demikian, bukan berarti bahwa konsep-konsep yang ada bisa dijalankan dengan
baik. Problema penyelenggaraan pemerintahan di masa Orde Baru, pada dasarnya
bukan semata berakar pada kualitas konsepnya semata, melainkan juga pada
ketidakmampuan merealisasikan konsep-konsep tersebut.
Kedua, sementara makna good governanve versi lama sudah jauh kehilangan
popularitas, pemaknaan konsep good governance dalam versi baru masih simpang
siur. Bias pemaknaan konsep good governance ini menjadi sulit dielakkan
manakala konsep ‘good governance’ itu sendiri sebetulnya, secara praktis,
diperankan sebagai stigma untuk mende-legitimasikan sentralisme dan
otoritarianisme yang terlembaga pada era Orde Baru. Peran stigmatik konsep good
governance sebetulnya tidak bisa dipisahkan dari sangat derasnya arus
perwacanaan dalam kerangka berfikir yang neo-liberal, yang pada dasarnya tigak
terlampau setuju dengan adanya peran sentral negara.
Ketiga, pemaknaan konsep good governance saat ini terjadi dalam suasana
dimana hegemoni wacana yang berakar pada liberalisme terlihat sangat kental.
Liberalisme difahami sebagai pintu pendobrak otoritarianisme, namun masih
menjadi pertanyaan besar apakah hal itu akan terlembaga. Dalam suasana dimana hegemoni
faham liberal di era reformasi ini sangat kuat, ukuran bagi baik buruknya
penyelenggaraan pemerintahan bisa bergeser dari otonomi dan demokrasi, menjadi
liberal atau tidak. Pola good governanve a la liberal mungkin bisa terlembaga
kalau masyarakat dan pejabat sama-sama sepenuh hati meliberalkan diri.
Kecenderungan yang terjadi adalah sabotasi terhadap liberalisme dalam arti
bahwa masyarakat mau enaknya memiliki kebebasan, namun tidak mau menanggung
persyarakat-persyaratan untuk tegaknya sistem yang liberal itu. Sebagai contoh,
maraknya demostrasi adalah pertanda dari pemanfaatan secara baik iklim politik
liberal, namun penghargaan terhadap hak orang lain tidak dilindungi tatkala
melakukan hal itu.
Reformasi, dalam dirinya mensiratkan arti penting ide-ide baru. Kalau
point-point tersebut di atas dicermati, penentuan arah reformasi
penyelenggaraan pemerintahan melibatkan suatu proses pertarungan ide.
Pertarungan itu terjadi melalui berbagai bentuk pembingkaian alur wacana. Dalam
konteks inilah makalah ini berbicara tentang politik epistemik. Persoalannya,
bukan hanya apa dan siapa yang mengutarakan ide-ide, tetapi juga bagaimana
ide-ide tersebut diperankan dalam proses reformasi. Aktor yang terlibat dalam
politik ide ini memang tidak terbatas pada organ-organ yang secara sempit
didefinisikan lembaga-lembaga politik (seperti partai-partai politik, DPR dan
kepala daerah) namun juga organ-organ yang semala ini “berkelit” untuk
diidentifikasi sebagai aktor politik, seperti yakni universitas, pusat-pusat pengkajian,
assosiasi keilmuan dan sebagainya.
Dari regime ke regime, universitas dan berbagai organ epistemik lainnya
memiliki peranan besar dalam pembingkaian makna konsep-konsep yang terkait
dengan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kerangka ini, universitas berikut
para ahli yang ada di dalamnya, di satu sisi memperlihatkan kepedulian terhadap
lingkungannya, di sisi lain, berpeluang untuk menggiring terjadinya bias bagi
penyelenggaraan pemerintahan. Contoh yang menarik adalah pemaknaan konsep
otonomi. Dalam tradisi keilmuan administrasi negara, otonomi daerah dimaknai
sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Dari cara pandang administratif ini, “pemilik” otonomi adalah pemerintah
daerah. Otonomi daerah, dengan demikian, tidak ada sangkut pautnya dengan
kemandirian masyarakat. Sekiranya konsep yang bias admimistratif yang
dikembangkan oleh universitas ini ternyata justru menghambat pelembagaan
otonomi daerah, tentunya universitas harus dimintai pertanggung jawaban. Disini
kita temukan suatu ironi. Dari kerangkan berfikir institusionalistik
universitas dan lembaga sejenis memiliki peran besar dalam mendisain atau
membubarkan suatu konsep, namun lembaga-lembaga ini terbebas dari
akuntabilitas. Dengan berlindung di balik label ‘ilmiah’ atau ‘temuan obyektif’
mereka bisa melakukan dua hal. Pertama, secara leluasa untuk mengusulkan dan
merancang disain-disain perubahan. Kedua, terbebas dari pertanggung jawaban
politis terhadap implikasi dari perubahan yang dirancangnya.
Kasus: pemaknaan ‘kemandirian’. Dalam rangka mengkaji peranan teknokrasi
dalam formula pengembangan otonomi daerah, penulis melakukan serangkaian
wawancara dengan para aktor politik lokal di Wonogiri. Hasil wawancara dengan
Bupati bisa dijadikan sebagai ilustrasi bagaimana bias keilmuan para pejabat,
memiliki implikasi praktis dalam pelembagaan pola penyelenggaraan pemerintahan.Keterlibatan Bupati sebagai peserta program Magister Administrasi Publik di UGM, memberikan jaminan bahwa beliau kenal betul dengan berbagai konsep yang terkait dengan pola penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini, internalisasi teori-teori administrasi negara dengan mudah ditunjukkan. Point yang ingin ditunjukkan dalam ilustrasi ini adalah adanya reproduksi bias pemaknaan otonomi daerah sebagai akibat dari internalisasi teori administrasi negara tentang otonomi. Posisi Bupati sengaja dipilih untuk menggarisbawahi bahwa ketika reproduksi bias ini terjadi dalam proses birokrasi yang bersifat hierarkhis dan struktural, maka bias yang dihasilkan juga bersifat struktural.
Bias tersebut terlihat dari “kepatuhan” terhadap kerangka berfikir
administratif bahwa otonomi daerah adalah persoalan otonomi pemerintah daerah,
dan tidak ada sangkut pautnya dengan otonomi masyarakat. Hal ini terlihat dari cara
Bupati memaknai konsep pemberdayaan. Mnurut Bupati pemberdayaan ini maknanya
tidak lain adalah peningkatan pendapatan masyarakat. Konsep yang sangat sarat
dengan nuansa politis ini ternyata direduksi sedemikian jauh. Konsep
‘pemberdayaan masyarakat’ pada gilirannya berperan sebagai cara baru untuk
memaknai arti penting peningkatan pendapatan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Sebaliknya, keberanian masyarakat untuk berdemonstrasi difahami
oleh sang Bupati sebagai tambahan kerumitan masalah, sebagaimana difahami oleh
para penguasa Orde Baru. Perbedaannya, kalau di masa lalu toleransi terhadap
hal itu sangat sempit, kini toleransinya sangat lebar. Sekali lagi,
jargon-jargon baru ternyata berperan sebagai cara baru untuk menggambarkan
idealitas lama. Keberanian masyarakat untuk menuntut hak-haknya, atau
mengekspresikan kekecewaannya, tidak difahami sebagai ungkapan otonomi
masyarakat yang pada gilirannya merupakan elemen penting untuk mengembangkan
pola penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Politik Epistemik
Sehubungan dengan sentralitas pemaknaan kata-kata kunci yang terkait
dengan pelembagaan good governance, makalah ini berusaha untuk menyorotinya
dari segi keterlibatan para ahli. Mereka, selama era Orde Baru, telah
memerankan diri sebagai tulang punggung bagi sentralisasikekuasaan dan
pelembagaan otoritarianisme. Di era desentralisasi dan pengembangan demokrasi
di tingkat lokal sekarang ini, terlihat betul kehausan pemerintah lokal akan
peran tanaga ahli tersebut. Menyusul digulirkannya kebijakan otonomi daerah,
segeralah mengedepan berbagai bentuk permintaan agar kalangan universitas, dan
berbagai simpul pengembangan ilmu pengetahuan lainnya, memfasilitasi
aktualisasikan otonomi daerah.
Keterlibatan universitas dan berbagai lembaga pengembangan keilmuan
lainnya dalam memfasilitasi proses aktualisasi otonomi dan demokratisasi,
meskipun dilakukan sekedar untuk merespon tuntutan-tuntutan yang berkembang,
pada dasarnya adalah keterlibatan politis. Universitas, dalam kaitan ini,
diharapkan berperan sebagai sendi reformasi. Karena basis kiprah politiknya
adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka nuansanya adalah politik
epistemik.