Oleh Jacinta F. Rini Team
e-psikologi
Pernahkah anda mengalami krisis kepercayaan diri atau
dalam bahasa sehari-hari "tidak pede" dalam menghadapi suatu situasi atau
persoalan? Saya yakin hampir setiap orang pernah mengalami krisis kepercayaan
diri dalam rentang kehidupannya, sejak masih anak-anak hingga dewasa
bahkan sampai usia lanjut. Ruang konseling di website inipun banyak
diwarnai dengan pertanyaan seputar kasus-kasus yang berhubungan dengan krisis
kepercayaan diri tersebut. Sudah tentu, hilangnya rasa percaya diri menjadi
sesuatu yang amat mengganggu, terlebih ketika dihadapkan pada tantangan atau
pun situasi baru. Individu sering berkata pada diri sendiri, “dulu saya tidak
penakut seperti ini....kenapa sekarang jadi begini ?” ada juga yang
berkata: "kok saya tidak seperti dia,...yang selalu percaya
diri...rasanya selalu saja ada yang kurang dari diri saya...saya malu menjadi
diri saya!”
Menyikapi kondisi seperti tersebut diatas maka akan muncul pertanyaan dalam
benak kita: mengapa rasa percaya diri begitu penting dalam kehidupan individu.
Lalu apakah kurangnya rasa percaya diri dapat diperbaiki sehingga tidak
menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun
dalam hubungan interpersonal. Jika memang rasa kurnag percaya diri dapat
diperbaiki, langkah-langkah apakah yang harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang akan saya jawab dalam artikel ini.
Kepercayaan
Diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu
yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini
bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala
sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya
hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut
dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa –
karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang
realistik terhadap diri sendiri.
Karakteristik
Karakteristik
atau ciri-ciri Individu yang percaya diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai
rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah :
- Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain
- Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok
- Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain – berani menjadi diri sendiri
- Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil)
- Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain)
- Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya
- Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Karakteristik
atau ciri-ciri Individu yang kurang percaya diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang
percaya diri, diantaranya adalah:
- Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok
- Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan
- Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan dir) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri – namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri
- Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif
- Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil
- Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri)
- Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu
- Mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangattergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain)
Perkembangan
Rasa Percaya Diri
Pola Asuh
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah
diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia
dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang
mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi
di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya
diri.Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada
saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih
sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan
rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga
dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari
sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak
dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya,
namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi
individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang
realistik terhadap diri – seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik
terhadap dirinya.
Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan
perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau
anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang
dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada
kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan
overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak
karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri – segala
sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk,
lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah
menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata
saudara kandungnya yang lain atau di hadapan teman-temannya.
Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali
meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau
pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan
anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa
sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar
masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah
prestasi atau pun penerimaan sosial. Contoh kasus yang riil pernah terjadi di
tanah air, ketika seorang anak bunuh diri gara-gara dirinya tidak diterima
masuk di jurusan A1 (IPA), meski dia sudah bersekolah di tempat yang elit;
rupanya sang orangtua mengharap anaknya diterima di A1 atau paling tidak A2,
agar kelak bisa menjadi dokter. Atau, orangtua yang memaksakan anaknya ikut les
ini dan itu, hanya karena anak-anak lainnya pun demikian.
Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi
individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu
(bahkan hingga kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang
bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial.
Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir : bahwa untuk bisa
diterima, dihargai, dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan
mengikuti keinginan mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi
diri sendiri – mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya
dirinya begitu lemah, sementara ketakutannya terlalu besar.
Pola
Pikir Negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami
berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu
terhadap seseorang atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara
berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung
mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari
dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal. Pola pikir individu yang
kurang percaya diri, bercirikan antara lain:
- Menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri (“saya harus bisa begini...saya harus bisa begitu”). Ketika gagal, individu tersebut merasa seluruh hidup dan masa depannya hancur.
- Cara berpikir totalitas dan dualisme : “kalau saya sampai gagal, berarti saya memang jelek”
- Pesimistik yang futuristik : satu saja kegagalan kecil, individu tersebut sudah merasa tidak akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan. Misalnya, mendapat nilai C pada salah satu mata kuliah, langsung berpikir dirinya tidak akan lulus sarjana.
- Tidak kritis dan selektif terhadap self-criticism : suka mengkritik diri sendiri dan percaya bahwa dirinya memang pantas dikritik.
- Labeling : mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif, seperti “saya memang bodoh”...”saya ditakdirkan untuk jadi orang susah”, dsb....
- Sulit menerima pujian atau pun hal-hal positif dari orang lain : ketika orang memuji secara tulus, individu langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, individu tersebut langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
- Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri : senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil, membuat individu langsung merasa menjadi orang tidak berguna.
Memupuk Rasa Percaya
Diri
Untuk
menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya
dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu
yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang
dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi pertimbangkan jika
anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri.
1. Evaluasi diri secara obyektif
Belajar
menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan” pribadi, seperti
prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah
diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan
atau pun sarana yang mendukung kemajuan diri. Sadari semua asset-asset
berharga Anda dan temukan asset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang
selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti : pola berpikir yang
keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya
ketekunan dan kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun
sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and
Threats) diri, kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi
pengembangan diri yang lebih realistik.
2. Beri penghargaan yang jujur terhadap diri
Sadari
dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki.
Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan
transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja
prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak
yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan
menghargai diri sendiri, mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan
berlebihan; contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan
penting dengan segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya
bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri sendiri,
ketidakmampuan menghargai diri sendiri – hingga berusaha mati-matian menutupi
keaslian diri.
3. Positive thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi
negatif yang muncul dalam benak Anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri,
bahwa nobody’s perfect dan it’s okay if I made a mistake. Jangan
biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan
terus berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit
dikendalikan dan dipotong. Jangan
biarkan pikiran negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar
masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh
pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk
kemudian di re-view kembali secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang
lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.
4. Gunakan self-affirmation
Untuk memerangi negative
thinking, gunakan self-affirmation
yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya:
- Saya pasti bisa !!
- Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya !
- Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan
- Sayalah yang memegang kendali hidup ini
- Saya bangga pada diri sendiri
5. Berani mengambil resiko
Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, Anda bisa
memprediksi resiko setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, Anda tidak
perlu menghindari setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi
untuk menghindari, mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya, Anda tidak
perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari resiko ditolak. Jika Anda ingin
mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain),
pasti ada resiko dan tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak
berbuat apa-apa daripada maju bertumbuh dengan mengambil resiko. Ingat: No Risk, No Gain.
6. Belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan
Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling
menderita hidupnya adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa
yang telah diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah
berusaha melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang
dijalaninya selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya,
ia tidak bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi,
pekerjaan, kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta
berbagai pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat
matahari tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi
dengan keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan,
kekesalan, kepahitan dan keputusasaan. Dengan “beban” seperti itu, bagaimana
individu itu bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam
hidupnya? Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang
kronis, karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat
“cemburu” hatinya. Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang Anda
alami dan percayalah bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup
Anda.
7. Menetapkan tujuan yang realistik
Anda
perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang Anda tetapkan selama ini, dalam arti
apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan tujuan
yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan tersebut.
Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah,
tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah terjadinya
resiko yang tidak diinginkan.
Mungkin
masih ada beberapa cara lain yang efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri.
Jika anda dapat melakukan beberapa hal serpti yang disarankan di atas, niscaya
anada akan terbebas dari krisis kepercayaan diri. Namun demikian satu hal
perlu diingat baik-baik adalah jangan sampai anda mengalami over confidence atau rasa percaya diri yang
berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis
bukanlah menggambar kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan
rasa percaya diri yang bersifat semu.
Rasa
percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri
yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari
orangtua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi
individu untuk “harus” menjadi orang sukses. Selain itu, persepsi yang keliru
pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa
percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kemampuan yang nyata. Hal
ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari
teman-teman (peer group) atau
dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat). Contohnya, seorang anak
yang sejak lahir ditanamkan oleh orangtua, bahwa dirinya adalah spesial,
istimewa, pandai, pasti akan menjadi orang sukses, dsb – namun dalam perjalanan
waktu anak itu sendiri tidak pernah punya track record of success yang riil dan original (atas dasar usahanya sendiri). Akibatnya, anak tersebut
tumbuh menjadi seorang manipulator dan dan otoriter – memperalat, menguasai dan
mengendalikan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasa percaya
diri pada individu seperti itu tidaklah didasarkan oleh real competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung
eksternal, seperti kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga, nama besar orangtua, dsb. Jadi, jika
semua atribut itu ditanggalkan, maka sang individu tersebut bukan siapa-siapa.
(jp)
sumber : www.e-psikologi.com
b.Kompetensi
Persoalan dalam impelementasi MSDM berbasis kompetensi menurut Murgiyono (2002: 11) adalah bagaimana dapat mengetahui, mengukur, dan mengembangkan kompetensi untuk membina pegawai yang profesional. Ini selaras dengan tujuan utama kompetensi pegawai yaitu:
Persoalan dalam impelementasi MSDM berbasis kompetensi menurut Murgiyono (2002: 11) adalah bagaimana dapat mengetahui, mengukur, dan mengembangkan kompetensi untuk membina pegawai yang profesional. Ini selaras dengan tujuan utama kompetensi pegawai yaitu:
1.
sebagai
persyaratan dalam penyusunan pola karir personel,
2.
menjamin
obyektifitas, keadilan dan transparansi dalam pengangkatan personel dalam
jabatan,
3.
menjamin keberhasilan pelaksanaan tugas
jabatan secara profesional, efektif, dan efisien, dan
4.
mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Prasyarat
diatas sesuai dengan pendapat Mitrani (1995:27) yang mengartikan kompetensi
sebagai kemampuan, yaitu: “suatu sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya
dapat meningkatkan prestasi kerja”. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
yang dimaksudkan dengan kompetensi adalah karakteristik dasar yang dimiliki
seseorang berupa pengetahuan, keahlian, sikap/perilaku yang diperlukan dalam
melaksanakan tugas jabatannya, sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja
secara profesional.
Menurut
Spencer & Spencer (1993: 9), ada lima karakteristik kompetensi yaitu:
a.
Motives, adalah
sesuatu yang selalu dipikirkan dan diinginkan seseorang yang dapat mengarahkan, mendorong atau menyebabkan orang melakukan tindakan. Motivasi ini
mengarahkan seseorang untuk menentukan atau
menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Armstrong, 1990: 68).
b.
Traits, merujuk pada
ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai
situasi atau informasi.
c.
Self concept, yakni
sikap, nilai atau image yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Self
concept ini akan memberikan keyakinan pada seseorang siapa jatidirinya dan
perilakunya.
d.
Knowledge, adalah
pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu.
e. Skill, merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas mental atau tugas
fisik tertentu. Berbeda dengan keempat karakteristik kompentensi lainnya yang
bersifat “inten” dalam diri individu, skill merupakan karakteristik kompetensi
yang berupa “action”. Skill mewujudkan sebagai perilaku yang didalamnya
terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.