Jumat, 13 April 2012

SOLIDARITAS SOSIAL OMK: MEMBUMIKAN PRINSIP AJARAN SOSIAL GEREJA Oleh. Faris Valeryan Wangge *


SOLIDARITAS SOSIAL OMK:
MEMBUMIKAN PRINSIP AJARAN SOSIAL GEREJA

Oleh. Faris Valeryan Wangge *

Beato Yohanes Paulus II berkata, “Kalian orang muda, kalian adalah harapan Gereja, dunia dan harapanku” (Vatican, 31 Maret 1985). Ia juga tak pernah berhenti merespon kondisi sosial manusia dan menegaskan arti pentingnya Solidaritas. Solidaritas - keterlibatan pada kepentingan bersama demi kepentingan manusia-pribadi. Harapan Gereja kepada kaum muda serta solidaritas (prinsip Ajaran Sosial Gereja) menjadi tema pokok catatan ini.  

Ajaran Sosial Gereja
Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah pokok-pokok yang di kemukakan oleh dokumen-dokumen gerejani dalam rumus-rumus yang dimaksudkan sebagai ungkapan resmi gereja. Ungkapan-ungkapan resmi itu pada pokoknya ajaran konsili (dan dalam arti tertentu sinode uskup-uskup), ajaran para paus pun pula ajaran para uskup (dan terutama konperensi-konperensi uskup). Sebagai ajaran resmi maka tentu saja dengan kurang atau lebih mengikat gereja sebagai kesatuan yang menyatakan keyakinannya. Selain itu ASG juga lebih dikenal luas sebagai ungkapan para paus dalam merespon situasi sosial dunia yang berkembang saat itu.  
Ajaran Sosial Gereja (ASG) dalam dunia modern berawal pada tahun 1891, ketika Paus Leo XIII dalam ensikliknya Rerum Novarum dengan tegas menentang kondisi-kondisi yang tidak manusiawi yang menjadi situasi buruh dalam masyarakat industri. Era ASG bisa dikatakan telah berlangsung lebih dari 1 abad ini (120 tahun, terhitung sejak Paus Leo XIII pertama kali menerbitkan ensikliknya yang terkenal Rerum Novarum)
ASG muncul mulai dari perhatian pada hak-hak pekerja dalam ensiklik Rerum Novarum, selanjutnya meluas pusat perhatiannya pada masalah-masalah perkembangan dan keadilan ekonomis antar bangsa, teknologi dan perlombaan senjata, makin melebarnya jurang antara kaum kaya dan kaum miskin dan kritik terhadap komunisme maupun kapitalisme.
Dan inti dari Ajaran Sosial Gereja dan pendasaran sikap pro-life adalah keyakinan yang mendalam tentang nilai luhur setiap manusia yang diciptakan menurut citra Allah (GS 12). ASG merupakan ungkapan bagi keterarahan Gereja pada dunia, sejak disadari, bahwa iman mesti mendapat wujudnya dalam hidup manusia yang proton dan bahwa Gereja mesti mendapat identitasnya dalam dialog dengan dunia yang profan " (Kieser, 1992:86).
Melalui ASG, mau ditegaskan kembali bahwa Gereja tidak dapat menjalankan tugas pewarta-annya tanpa keterlibatan konkrit dalam masalah ke-masyarakatan. ASG merupakan salah satu aspek dimensi profetik Gereja. Melalui ajaran sosialnya, Gereja menjalankan tugas pewartaannya (dengan memberi ajaran),tapi juga sekaligus mewujudkan keterlibatannya dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial masyarakat. "Jelaslah kiranya bahwa ajaran sosial Gereja itu mengandung unsur praktis.  Tujuannya adalah menawarkan panduan moral dan spiritual kepada orang dan kelompok orang yang sedang menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik" (Kristiyanto, 2003:219)

1.     Paus Leo XIII (1878-1903)
Ensiklik Rerum Novarum (1891) Dipandang sebagai ensiklik pertama dalam rentetan dokumen Ajaran Sosial Gereja, karena Rerum Novarum untuk pertama kali secara prinsipil dan menyeluruh membahas masalah kaum buruh, serta menguraikan pandangan Gereja Katolik mengenai persoalan sosial ini. Dalam ensiklik itu Paus menyatakan 3 faktor kunci yang mendasari kehidupan ekonomi, yaitu buruh, modal dan negara. Paus juga menunjukkan keterkaitan ketiga hal itu sebagai masalah pokok ASG. Karena prinsip-prinsip yang dikemukakan adalah petunjuk-petunjuk untuk menciptakan masyarakat yang adil, dokumen itu terkenal sebagai “Magna Charta” untuk membangun kembali tatanan ekonomi dan sosial.
2.   Paus Pius XI (1922-1939)
Ensiklik Quadragesimo Anno (1931) Sebuah ensiklik yang terbit untuk memperingati ensiklik sebelumnya Rerum Novarum warisan Paus Leo XIII. Quadragesimo Anno membahas masalah-masalah sosial secara prinsipil dan menyeluruh. Dalam ensiklik ini Paus Pius memperlihatkan sikap anti-sosialis yang menyolok. Ensiklik Quadragesimo Anno merupakan perkembangan dan perbaikan teoritis yang amat penting dari pokok-pokok pikiran Leo XIII.

3.   Paus Yohanes XXIII (1958-1963)
Ensiklik Mater Et Magistra (1961)Terbitnya ensiklik Mater Et Magistra disebut pula sebuah fase baru dalam ASG. Dalam ensiklik ini Paus menyebutkan kembali  soal-soal klasik (buruh dan majikan) dan membahas persoalan-persoalan baru: masalah-masalah kelompok marginal (umpamanya petani) dan masalah-masalah sosial International.

Ensiklik Pacem In terris (1963)Ensiklik ini terbit pada hari Sabtu suci masih di era Paus Yohanes XXIII. Paus mengatakan bahwa Pacem In terris berhubungan erat dengan Mater Et Magistra yang mengumpulkan kembali ajaran para Paus sejak Leo XIII hingga Paus Pius XII. Pacem In terris merupakan bagian dari ASG yang penekanannnya lebih kepada masalah Politis, bukan pada masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam Pacem In terris diuraikan pula mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya antara lain disebutkan pula hak ekonomi dan hak untuk berserikat. Pacem In terris memperlihatkan sikap terbuka dari Paus Yohanes XXIII terhadap orang yang berpendapat lain, dan sikap terbuka dibinanya dalam Gereja dan dianjurkan juga kepada golongan lain dalam bidang politik.

4.      Konstitusi Gaudium Et Spes (1965)
Pada tahun 1962-1965 mulai dilangsungkannya Konsili Vatican II, salah satu yang terkenal dari Konsili Vatican II ini adalah konstitusi Pastoral Gaudium Et Spes. Dalam mukadimah Gaudium Et Spes sangat kelihatan bahwa Konsili ingin mengungkapkan solidaritas Gereja dengan umat manusia: Gereja berbicara sebagai sesama manusia kepada manusia mengenai manusia. Konstitusi ini bukan hanya ASG; isi dan tujuannya jauh lebih luas. Namun Gaudium Et Spes mempunyai tempat yang amat penting dalam perkembangan ASG, bukan karena isinya yang banyak mengenai masalah-masalah sosial, melainkan karena sikap dan metodenya. Gaudium Et Spes merumuskan kembali azas keterlibatan dan ajaran sosial gereja - “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari orang-orang dewasa ini adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para pengikut Kristus pula” (GS.1)

5.      Paus Paulus VI (1963-1978)
Ensiklik Populorum Progressio (1967), ketika Konsili Vatican II masih berjalan Paus Yohanes XXIII wafat, dan Paus Paulus VI menjadi Paus penggantinya (1963-1978). Paus Paulus VI tidak hanya terinsipirasi pada gagasan-gagasan Konsili Vatican II tetapi bertekad untuk melaksanakannya. Populorum Progressio adalah ensiklik yang membahas masalah-masalah Negara yang sedang berkembang. Untuk pertama kalinya sebuah tema tentang hubungan antara negara-negara kaya dengan negara negara miskin menjadi tema sebuah Ajaran Sosial Gereja.

Ensiklik Octogesima adveniens (1971) Masih dalam era Paus Paulus VI terbit lagi satu ensiklik yakni Octogesima adveniens. Diterbitkan terutama untuk mengenang Rerum Novarum di era Paus Leo XIII 80 tahun sebelumnya dan lebih banyak membahas masalah-masalah politik. Isi dari Octogesima adveniens (sikap hati-hati dan tertutup) terhadap gerakan Sosialis dan perlawanan terhadap Komunisme. Sikap seperti ini diperlihatkan oleh Paus dalam berbagai kesempatan seperti dalam Pidato di muka PBB (1965), amanat kepada bangsa-bangsa Afrika (1974), dan amanat pada hari Perdamaian (1975), dan banyak lagi pidato dan surat lain. Paus Paulus VI selalu menekankan pada keterlibatan praksis umat Katolik – dengan bekal prinsip-prinsip ASG pada masalah-masalah umat manusia sekarang ini.

6.      Era Paus Yohanes Paulus II (1978-2005)
Pada era Paus Yohanes Paulus II terbitlah beberapa ensiklik yang keseluruhan temanya menyinggung tentang persoalan manusia yakni Ensiklik Redemptor hominis (1979), Ensiklik Dives ini misericordia (1980), Ensiklik Laborem Exercens (1981) Ensiklik ini diterbitkan untuk memperingati 20 tahun terbitnya ensiklik Popullarum progressio. Isi Laborem Exercens seperti Rerum novarrum banyak menyinggung mengenai kerja manusia. Ensiklik Sollicitudo rei socialis (1987) dan Ensiklik Centesimus annus (1981).

Paus Yohanes Paulus II dalam semua surat dan pidatonya selalu menegaskan tema: martabat luhur pribadi manusia sebagai subyek yang bebas. Ia juga mengkritik Kapitalisme dan menitik beratkan pada prinsip Solidaritas – yaitu keterlibatan pada kepentingan bersama demi kepentingan manusia-pribadi. Solidaritas sebagai keterlibatan demi kepentingan bersama adalah pesan pokok dari ensiklik Sollicitudo rei socialis.
               
Orang Muda Katolik
Orang Muda Katolik/OMK tentu saja bukan sekedar label yang menyatukan semua Orang Muda Katolik. Namun, OMK juga dimaknai, bahwa semua orang Muda Katolik, baik bersama-sama maupun sebagai pribadi memiliki, mengolah, dan mengembangkan Kemanusiaan, Kemudaan, Kekatolikan dan Keindonesiaan yang terpancar dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya/komunitasnya (Mudika/KMK/PMKRI/Pemuda Katolik/Komunitas OMK lainnya).

Seorang muda Katolik haruslah mempunyai kepekaan terhadap situasi sosial di sekitarnya, memiliki militansi dan progresifitas mengelola tantangan kehidupan, terus menerus menempa ke-Imanannya lewat doa serta bersama kaum muda lainnya ikut mengawal tumbuh kembangnya kebangsaan yang lebih beradab dan bermartabat.

Jadi dalam diri OMK/Komunitas OMK mengandung pula peran dan tanggung jawab sosial. Peran dan tanggung jawab sosial ini sejalan dengan pesan Injil dan prinsip-prinsip dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). 

Gereja secara tegas dan terus menerus menyatakan keberpihakannya pada kaum miskin, kaum terpinggirkan (Preferential Option for the Poor), maka OMK sebagai anak kandung Gereja dan harapan masa depan Gereja dituntut juga harus mampu memiliki peran sosial yang kongkrit tersebut. Peran sosial yang kongkrit ini bisa dimaknai sebagai tugas individu sang OMK/Komunitas OMK.

Peran-peran sosial dimaksud antara lain:

1.   Sadar dan mampu mengemban tugas-panggilan kemanusiaan untuk selalu berpihak pada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, mereka yang senantiasa menjadi korban dari ketidakadilan dan kerakusan kekuasaan.
2.  Sadar dan mampu mengemban tugas hakikinya sebagai orang muda, dalam menyempurnakan diri pribadi dan semua talenta yang dipercayakan kepadanya, dalam memperjuangkan impian dan idealisme kemudaannya, dalam kesadaran penuh bahwa masa depan yang ia perjuangkan adalah pula masa depan dari masyarakat, bangsa, gereja, dan kemanusiaan itu sendiri.

Menjadi sebuah keniscayaan baginya untuk bekerja bersama dengan semua sesama orang muda melintasi batas kebudayaan dan agama, menjadi daya gerak utama transformasi sejarah bangsanya. Untuk inilah seorang individu OMK pertama-tama haruslah mengerti, mendalami, dan menghidupi semangat, teladan hidup, dan ajaran Sang Kasih sendiri, yakni Kristus, Sang Manusia Muda yang secara khusus disampaikan kepada jaman ini lewat perantaraan Gereja Kudus. Demikianlah, menggereja menjadi kesempatan pembelajaran hidup yang pertama bagi seorang Muda Katolik, tanpa menjadi mati dan beku di dalamnya.

Untuk itu OMK mesti memiliki nilai dan kapasitas dasar yang harus menghidupinya antara lain:

1.     Sensus Catholicus, roh dan wawasan hidup Kristiani
2.    Spirit kemanusiaan, keberpihakan pada kaum lemah dan tertindas
3.    Semangat Kemudaan, spontanitas, kegembiraan, persa-habatan, keberanian, ketahanan.
4.    Sensus Kulturalis, kesadaran mendalam akan kebuda-yaan dan peradaban kemanusiaan, serta akan realitas sosial sehari-hari masyarakatnya
5.    Kesadaran Kritis, peka dan cerdas membaca tantangan sosial riil dalam hidup kesehariannya
6.    Man of Action, berani bersikap, terlibat, dan bertin-dak kongkrit

Relasi – Solidaritas - Perubahan
Solidaritas sosial dapatlah terwujud jika OMK mau terlibat aktif dengan situasi sosial di sekitarnya. Dalam praksisnya hal ini juga dapat terwujud jika kesadaran akan relasi antar OMK/Komunitas OMK bisa diwujdukna. Harus diakui bahwa OMK begitu kaya bentuk dan wujudnya di tiap-tiap basis parokial maupun ruang lingkup kategorial bagaimana ia bisa disatukan? Maka dibutuhkan prinsip pengaturan bersama, yakni cara komunitas kita bergaul dan hidup dalam masyarakat komunitas-komunitas :

1.     Setiap komunitas adalah lingkaran pemberdayaan : Setiap komunitas wajib membangun dirinya menjadi komunitas yang sekalipun kecil, tetapi lincah, hidup, kritis, bertindak kongkrit, dan visioner. Setiap komunitas harus terus berjuang untuk bertumbuh dan bergerak maju mewujudkan visi dan misi bersama, pertumbuhan iman, karakter, dan wawasan anggotanya, pertumbuhan gereja lokalnya, serta transformasi dunia sekitarnya.
2.    Otonomi : otonomi tiap basis komunitas sangat dihargai, namun masing-masing basis harus memegang teguh prinsip-prinsip pengorganisasian bersama  ini. 
3.    Jejaring, communion of communities : Setiap komunitas harus berjejaring dengan komunitas lain, terlebih komunitas-komunitas yang berdekatan secara geografis dan administratif kegerejaan. Bukan organisasi hirarkhis-teritorial, namun jejaring komunitas-komunitas, yang mengelompokkan diri berdasarkan kedekatan teritorial gerejawi (blok-lingkungan-wilayah/stasi-paroki-rayon-kevikepan-keuskupan).
4.    Antar komunitas harus saling bekerja sama dan berkomunikasi secara rutin, demokratis, fair, dan terarah untuk mengkomunikasikan perkembangan, tantangan, dan hal-hal baru yang terjadi di masing-masing basis pengorganisasian Mudika.
5.    Hubungan simpul-simpul komunitas Mudika adalah hubungan subsidiaritas-solidaritas. Subsidiaritas : yang lebih besar menopang yang lebih kecil dengan mengisi hal-hal yang tidak mungkin digarap di tataran simpul yang lebih kecil (pelatihan penggerak Mudika Lingkungan oleh Mudika Paroki, pembentukan simpul-simpul Mudika se-paroki,  dst).Solidaritas : mereka yang setara harus saling mendukung dan solider satu sama lain (antarlingkungan, antarstasi/wilayah, dan antarparoki)Maka hubungan kepengurusan Mudika antara Mudika Paroki yang bertanggung jawab antas kaum muda Katolik separoki dengan Mudika Wilayah/Stasi/Lingkungan tentu saja lebih bercorak fasilitasi untuk berjejaring, untuk peningkatan kapasitas, dan pelatihan pengkaderan, maupun bentuk support yang lain.
6.    Serta kesepakatan-kesepakatan lain yang dibangun sebagai kearifan hidup bersama setempat secara adil dan demokratis dan dipelihara di masing-masing gereja setempat.

Berpijak, terlibat, berpihak
Di era sekarang ini OMK haruslah mampu menciptakan model solidaritas sosial alanya sendiri. Model solidaritas ini semestinya model solidaritas yang mampu merangsang orang muda lainnya untuk turut juga terlibat bersama kita. Identitas kita sebagai OMK semestinya meresap masuk tidak sebagai simbolisme tetapi harus menjadi Spirit. Spirit disini adalah sesuatu yang terlihat dalam pikiran, ucapan dan tindakan. 

Solidaritas dalam konteks ASG tidak sekedar sebuah upaya untuk selalu membangkitkan bela rasa dengan orang miskin, melainkan terutama menggerakan usaha bersama antara semua orang untuk menciptakan kondisi hidup manusiawi bagi semua orang.

Ini artinya posisi OMK/Komunitas OMK tidak lagi sekedar (hanya) membantu mereka yang susah, tidak sekedar (hanya) berteriak protes terhadap ketidakadilan yang timbul di tengah masyarakat, tidak lagi sekedar (hanya) menyerukan seruan kenabian dimana mengajak orang lain untuk berubah dan berbuat kebaikan tetapi harus masuk lebih jauh, lebih dalam menjadi bagian dari perubahan sosial tersebut.

Menjadi bagi dari perubahan itu artinya memilih untuk berpijak, terlibat dan berpihak pada kaum miskin, hina dina, lemah papah, kaum yang tertindas, kaum yang terasing dan diasingkan, kaum terbuang dan dibuang. OMK harus ada ditengah situasi sosial (Inklusif), terlibat aktif untuk melakukan perubahan (Proaktif) dan mengambil posisi selalu berpihak pada kaum yang tak beruntung tersebut (Identitas).

Keterlibatan OMK dalam konteks ini adalah keterlibatan proaktif. Sebagai pribadi tentu saja OMK haruslah mampu menjadi bagian dari perubahan, haruslah mampu menjadi tanda bagi perubahan di lingkungan sosialnya (lingkungan sekolah, lingkungan kuliah, lingkungan kerja) sedangkan dalam ruang lingkup komunitas maka peran keterlibatan OMK harus terjawab dalam program kerja dan aktivitas organisasinya. SEMOGA

Referensi
1.     Kompendium Ajaran Sosial Gereja, www.vatican.va/roman_curia_councils
2.    Kieser DR.B. 1993, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja. Pustaka Teologi, Penerbit Kanisius Cetakan kedua 1993.
3.    Jaringan OMK/Mudika se Indonesia, Catatan diskusi berbagai sumber. Facebook Grup, Moderator Lilik Krismantoro, 2011.


*) Faris Valeryan Wangge, Tim kerja/Pendamping OMK Komisi Kepemudaan Keuskupan Denpasar. Disampaikan dalam Pendidikan Kaderisasi Basis OMK –se Bali, OSF Tuka Dalung, 01 – 03 September 2011.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar