SOLIDARITAS SOSIAL OMK:
MEMBUMIKAN PRINSIP AJARAN SOSIAL GEREJA
Oleh. Faris Valeryan Wangge *
Beato Yohanes Paulus II berkata,
“Kalian orang muda, kalian adalah harapan Gereja, dunia dan harapanku” (Vatican,
31 Maret 1985). Ia juga
tak pernah berhenti merespon kondisi sosial manusia dan menegaskan arti
pentingnya Solidaritas. Solidaritas - keterlibatan pada kepentingan bersama demi
kepentingan manusia-pribadi. Harapan Gereja kepada kaum muda serta solidaritas
(prinsip Ajaran Sosial Gereja) menjadi tema pokok catatan ini.
Ajaran Sosial Gereja
Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah pokok-pokok yang di
kemukakan oleh dokumen-dokumen gerejani dalam rumus-rumus yang dimaksudkan
sebagai ungkapan resmi gereja. Ungkapan-ungkapan resmi itu pada pokoknya ajaran
konsili (dan dalam arti tertentu sinode uskup-uskup), ajaran para paus pun pula
ajaran para uskup (dan terutama konperensi-konperensi uskup). Sebagai ajaran
resmi maka tentu saja dengan kurang atau lebih mengikat gereja sebagai kesatuan
yang menyatakan keyakinannya. Selain itu ASG juga lebih dikenal luas sebagai ungkapan
para paus dalam merespon situasi sosial dunia yang berkembang saat itu.
Ajaran Sosial Gereja (ASG) dalam dunia modern berawal pada
tahun 1891, ketika Paus Leo XIII dalam ensikliknya Rerum Novarum dengan tegas
menentang kondisi-kondisi yang tidak manusiawi yang menjadi situasi buruh dalam
masyarakat industri. Era ASG bisa dikatakan telah berlangsung lebih dari 1 abad
ini (120 tahun, terhitung sejak Paus Leo XIII pertama kali menerbitkan
ensikliknya yang terkenal Rerum Novarum)
ASG muncul mulai dari perhatian pada hak-hak pekerja dalam
ensiklik Rerum Novarum, selanjutnya meluas pusat perhatiannya pada
masalah-masalah perkembangan dan keadilan ekonomis antar bangsa, teknologi dan
perlombaan senjata, makin melebarnya jurang antara kaum kaya dan kaum miskin
dan kritik terhadap komunisme maupun kapitalisme.
Dan inti dari Ajaran Sosial Gereja dan pendasaran sikap
pro-life adalah keyakinan yang mendalam tentang nilai luhur setiap manusia yang
diciptakan menurut citra Allah (GS 12). ASG merupakan ungkapan bagi keterarahan
Gereja pada dunia, sejak disadari, bahwa iman mesti mendapat wujudnya dalam
hidup manusia yang proton dan bahwa Gereja mesti mendapat identitasnya dalam
dialog dengan dunia yang profan " (Kieser, 1992:86).
Melalui ASG, mau ditegaskan
kembali bahwa Gereja tidak dapat menjalankan tugas pewarta-annya tanpa
keterlibatan konkrit dalam masalah ke-masyarakatan. ASG merupakan salah satu
aspek dimensi profetik Gereja. Melalui ajaran sosialnya, Gereja menjalankan
tugas pewartaannya (dengan memberi ajaran),tapi juga sekaligus mewujudkan
keterlibatannya dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial masyarakat.
"Jelaslah kiranya bahwa ajaran sosial Gereja itu mengandung unsur
praktis. Tujuannya adalah menawarkan
panduan moral dan spiritual kepada orang dan kelompok orang yang sedang
menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik" (Kristiyanto,
2003:219)
1.
Paus Leo XIII (1878-1903)
Ensiklik Rerum
Novarum (1891) Dipandang sebagai ensiklik pertama dalam rentetan dokumen
Ajaran Sosial Gereja, karena Rerum Novarum untuk pertama kali secara prinsipil
dan menyeluruh membahas masalah kaum buruh, serta menguraikan pandangan Gereja
Katolik mengenai persoalan sosial ini. Dalam ensiklik itu Paus
menyatakan 3 faktor kunci yang mendasari kehidupan ekonomi, yaitu buruh, modal
dan negara. Paus juga menunjukkan keterkaitan ketiga hal itu sebagai masalah
pokok ASG. Karena prinsip-prinsip yang dikemukakan adalah petunjuk-petunjuk
untuk menciptakan masyarakat yang adil, dokumen itu terkenal sebagai “Magna
Charta” untuk membangun kembali tatanan ekonomi dan sosial.
2. Paus Pius XI (1922-1939)
Ensiklik Quadragesimo Anno (1931) Sebuah ensiklik yang terbit untuk
memperingati ensiklik sebelumnya Rerum Novarum warisan Paus Leo XIII. Quadragesimo Anno membahas masalah-masalah sosial
secara prinsipil dan menyeluruh. Dalam ensiklik ini Paus Pius memperlihatkan
sikap anti-sosialis yang menyolok. Ensiklik Quadragesimo Anno merupakan perkembangan dan perbaikan teoritis yang amat
penting dari pokok-pokok pikiran Leo XIII.
3. Paus Yohanes XXIII (1958-1963)
Ensiklik Mater Et Magistra (1961)Terbitnya ensiklik Mater Et Magistra disebut pula sebuah fase baru
dalam ASG. Dalam ensiklik ini Paus menyebutkan kembali soal-soal klasik (buruh dan majikan) dan
membahas persoalan-persoalan baru: masalah-masalah kelompok marginal (umpamanya
petani) dan masalah-masalah sosial International.
Ensiklik Pacem In terris (1963)Ensiklik ini terbit pada hari
Sabtu suci masih di era Paus Yohanes XXIII. Paus mengatakan bahwa Pacem In
terris berhubungan erat dengan Mater Et Magistra yang mengumpulkan kembali
ajaran para Paus sejak Leo XIII hingga Paus Pius XII. Pacem In terris merupakan
bagian dari ASG yang penekanannnya lebih kepada masalah Politis, bukan pada
masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam Pacem In terris diuraikan pula mengenai
Hak Asasi Manusia yang didalamnya antara lain disebutkan pula hak ekonomi dan
hak untuk berserikat. Pacem In terris memperlihatkan sikap terbuka dari Paus
Yohanes XXIII terhadap orang yang berpendapat lain, dan sikap terbuka dibinanya
dalam Gereja dan dianjurkan juga kepada golongan lain dalam bidang politik.
4. Konstitusi Gaudium Et Spes (1965)
Pada tahun 1962-1965 mulai dilangsungkannya Konsili Vatican II, salah satu yang
terkenal dari Konsili Vatican II ini adalah konstitusi Pastoral Gaudium Et Spes. Dalam mukadimah Gaudium Et Spes sangat kelihatan bahwa Konsili
ingin mengungkapkan solidaritas Gereja dengan umat manusia: Gereja berbicara
sebagai sesama manusia kepada manusia mengenai manusia. Konstitusi ini bukan
hanya ASG; isi dan tujuannya jauh lebih luas. Namun Gaudium Et Spes mempunyai tempat yang amat
penting dalam perkembangan ASG, bukan karena isinya yang banyak mengenai
masalah-masalah sosial, melainkan karena sikap dan metodenya. Gaudium Et Spes merumuskan kembali azas keterlibatan
dan ajaran sosial gereja - “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari orang-orang
dewasa ini adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para pengikut
Kristus pula” (GS.1)
5. Paus Paulus VI (1963-1978)
Ensiklik Populorum
Progressio (1967), ketika Konsili Vatican II masih berjalan Paus Yohanes
XXIII wafat, dan Paus Paulus VI menjadi Paus penggantinya (1963-1978). Paus
Paulus VI tidak hanya terinsipirasi pada gagasan-gagasan Konsili Vatican II
tetapi bertekad untuk melaksanakannya. Populorum Progressio adalah ensiklik
yang membahas masalah-masalah Negara yang sedang berkembang. Untuk pertama
kalinya sebuah tema tentang hubungan antara negara-negara kaya dengan negara
negara miskin menjadi tema sebuah Ajaran Sosial Gereja.
Ensiklik Octogesima
adveniens (1971) Masih dalam era Paus Paulus VI terbit lagi satu ensiklik
yakni Octogesima adveniens. Diterbitkan terutama untuk mengenang Rerum Novarum
di era Paus Leo XIII 80 tahun sebelumnya dan lebih banyak membahas
masalah-masalah politik. Isi dari Octogesima adveniens (sikap hati-hati dan
tertutup) terhadap gerakan Sosialis dan perlawanan terhadap Komunisme. Sikap
seperti ini diperlihatkan oleh Paus dalam berbagai kesempatan seperti dalam
Pidato di muka PBB (1965), amanat kepada bangsa-bangsa Afrika (1974), dan amanat
pada hari Perdamaian (1975), dan banyak lagi pidato dan surat lain. Paus Paulus
VI selalu menekankan pada keterlibatan praksis umat Katolik – dengan bekal
prinsip-prinsip ASG pada masalah-masalah umat manusia sekarang ini.
6. Era Paus Yohanes Paulus II (1978-2005)
Pada era Paus Yohanes Paulus II terbitlah beberapa
ensiklik yang keseluruhan temanya menyinggung tentang persoalan manusia yakni Ensiklik
Redemptor hominis (1979), Ensiklik Dives ini misericordia (1980), Ensiklik Laborem Exercens (1981) Ensiklik ini diterbitkan untuk memperingati
20 tahun terbitnya ensiklik Popullarum
progressio. Isi Laborem Exercens seperti Rerum novarrum banyak menyinggung mengenai kerja
manusia. Ensiklik Sollicitudo rei socialis (1987) dan Ensiklik Centesimus annus (1981).
Paus Yohanes Paulus II dalam semua surat dan
pidatonya selalu menegaskan tema: martabat luhur pribadi manusia sebagai subyek
yang bebas. Ia juga mengkritik Kapitalisme dan menitik beratkan pada prinsip
Solidaritas – yaitu keterlibatan pada kepentingan bersama demi kepentingan
manusia-pribadi. Solidaritas sebagai keterlibatan demi kepentingan bersama
adalah pesan pokok dari ensiklik Sollicitudo rei socialis.
Orang Muda Katolik
Orang Muda Katolik/OMK tentu saja bukan sekedar label yang menyatukan
semua Orang Muda Katolik. Namun, OMK juga dimaknai, … bahwa semua orang Muda Katolik, baik bersama-sama maupun
sebagai pribadi memiliki, mengolah, dan mengembangkan Kemanusiaan, Kemudaan, Kekatolikan dan Keindonesiaan yang terpancar dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya/komunitasnya (Mudika/KMK/PMKRI/Pemuda Katolik/Komunitas OMK lainnya).
Seorang muda Katolik haruslah mempunyai kepekaan terhadap situasi
sosial di sekitarnya, memiliki militansi dan progresifitas mengelola tantangan
kehidupan, terus menerus menempa ke-Imanannya lewat doa serta bersama kaum muda
lainnya ikut mengawal tumbuh kembangnya kebangsaan yang lebih beradab dan
bermartabat.
Jadi dalam diri OMK/Komunitas
OMK mengandung pula peran dan tanggung jawab sosial. Peran dan tanggung jawab
sosial ini sejalan dengan pesan Injil dan prinsip-prinsip dalam Ajaran Sosial
Gereja (ASG).
Gereja secara tegas dan terus
menerus menyatakan keberpihakannya pada kaum miskin, kaum terpinggirkan (Preferential
Option for the Poor), maka OMK sebagai anak kandung Gereja dan harapan masa
depan Gereja dituntut juga harus mampu memiliki peran sosial yang kongkrit
tersebut. Peran sosial yang kongkrit ini bisa dimaknai sebagai tugas individu
sang OMK/Komunitas OMK.
Peran-peran sosial dimaksud
antara lain:
1. Sadar dan mampu mengemban tugas-panggilan kemanusiaan untuk selalu
berpihak pada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, mereka yang
senantiasa menjadi korban dari ketidakadilan dan kerakusan kekuasaan.
2. Sadar dan mampu mengemban tugas hakikinya sebagai orang muda, dalam
menyempurnakan diri pribadi dan semua talenta yang dipercayakan kepadanya,
dalam memperjuangkan impian dan idealisme kemudaannya, dalam kesadaran penuh
bahwa masa depan yang ia perjuangkan adalah pula masa depan dari masyarakat,
bangsa, gereja, dan kemanusiaan itu sendiri.
Menjadi sebuah keniscayaan
baginya untuk bekerja bersama dengan semua sesama orang muda melintasi batas
kebudayaan dan agama, menjadi daya gerak utama transformasi sejarah bangsanya.
Untuk inilah seorang individu OMK pertama-tama haruslah mengerti, mendalami,
dan menghidupi semangat, teladan hidup, dan ajaran Sang Kasih sendiri, yakni
Kristus, Sang Manusia Muda yang secara khusus disampaikan kepada
jaman ini lewat perantaraan Gereja Kudus. Demikianlah, menggereja menjadi
kesempatan pembelajaran hidup yang pertama bagi seorang Muda Katolik, tanpa
menjadi mati dan beku di dalamnya.
Untuk itu OMK mesti memiliki nilai dan
kapasitas dasar yang harus menghidupinya antara lain:
1. Sensus Catholicus, roh dan wawasan hidup Kristiani
2. Spirit
kemanusiaan,
keberpihakan pada kaum lemah dan tertindas
3. Semangat
Kemudaan,
spontanitas, kegembiraan, persa-habatan, keberanian, ketahanan.
4. Sensus
Kulturalis, kesadaran
mendalam akan kebuda-yaan dan peradaban kemanusiaan, serta akan realitas sosial
sehari-hari masyarakatnya
5. Kesadaran
Kritis, peka dan
cerdas membaca tantangan sosial riil dalam hidup kesehariannya
6. Man of Action, berani bersikap, terlibat, dan
bertin-dak kongkrit
Relasi – Solidaritas - Perubahan
Solidaritas sosial dapatlah
terwujud jika OMK mau terlibat aktif dengan situasi sosial di sekitarnya. Dalam
praksisnya hal ini juga dapat terwujud jika kesadaran akan relasi antar
OMK/Komunitas OMK bisa diwujdukna. Harus diakui bahwa OMK begitu kaya bentuk dan
wujudnya di tiap-tiap basis parokial maupun ruang lingkup kategorial bagaimana
ia bisa disatukan? Maka dibutuhkan prinsip pengaturan bersama, yakni cara komunitas kita
bergaul dan hidup dalam masyarakat komunitas-komunitas :
1. Setiap komunitas adalah lingkaran
pemberdayaan : Setiap
komunitas wajib membangun dirinya menjadi komunitas yang sekalipun kecil,
tetapi lincah, hidup, kritis, bertindak kongkrit, dan visioner. Setiap
komunitas harus terus berjuang untuk bertumbuh dan bergerak maju mewujudkan visi
dan misi bersama, pertumbuhan iman, karakter, dan wawasan anggotanya,
pertumbuhan gereja lokalnya, serta transformasi dunia sekitarnya.
2. Otonomi : otonomi tiap basis komunitas sangat dihargai, namun
masing-masing basis harus memegang teguh prinsip-prinsip pengorganisasian
bersama ini.
3. Jejaring, communion of communities : Setiap komunitas harus
berjejaring dengan komunitas lain, terlebih komunitas-komunitas yang berdekatan
secara geografis dan administratif kegerejaan. Bukan organisasi hirarkhis-teritorial,
namun jejaring komunitas-komunitas, yang mengelompokkan diri berdasarkan
kedekatan teritorial gerejawi
(blok-lingkungan-wilayah/stasi-paroki-rayon-kevikepan-keuskupan).
4. Antar komunitas harus saling bekerja sama dan berkomunikasi
secara rutin, demokratis, fair, dan terarah untuk mengkomunikasikan
perkembangan, tantangan, dan hal-hal baru yang terjadi di masing-masing basis
pengorganisasian Mudika.
5. Hubungan
simpul-simpul komunitas Mudika adalah hubungan subsidiaritas-solidaritas.
Subsidiaritas : yang lebih besar menopang yang lebih kecil dengan
mengisi hal-hal yang tidak mungkin digarap di tataran simpul yang lebih kecil
(pelatihan penggerak Mudika Lingkungan oleh Mudika Paroki, pembentukan
simpul-simpul Mudika se-paroki, dst).Solidaritas : mereka yang
setara harus saling mendukung dan solider satu sama lain (antarlingkungan,
antarstasi/wilayah, dan antarparoki)Maka hubungan kepengurusan Mudika antara
Mudika Paroki yang bertanggung jawab antas kaum muda Katolik separoki dengan Mudika
Wilayah/Stasi/Lingkungan tentu saja lebih bercorak fasilitasi untuk
berjejaring, untuk peningkatan kapasitas, dan pelatihan pengkaderan, maupun
bentuk support yang lain.
6. Serta
kesepakatan-kesepakatan lain yang dibangun sebagai kearifan hidup bersama
setempat secara adil dan demokratis dan dipelihara di masing-masing gereja
setempat.
Berpijak, terlibat, berpihak
Di era sekarang ini OMK haruslah
mampu menciptakan model solidaritas sosial alanya sendiri. Model solidaritas
ini semestinya model solidaritas yang mampu merangsang orang muda lainnya untuk
turut juga terlibat bersama kita. Identitas kita sebagai OMK semestinya meresap
masuk tidak sebagai simbolisme tetapi harus menjadi Spirit. Spirit disini
adalah sesuatu yang terlihat dalam pikiran, ucapan dan tindakan.
Solidaritas dalam konteks ASG tidak sekedar sebuah upaya untuk selalu
membangkitkan bela rasa dengan orang miskin, melainkan terutama menggerakan
usaha bersama antara semua orang untuk menciptakan kondisi hidup manusiawi bagi
semua orang.
Ini artinya posisi OMK/Komunitas
OMK tidak lagi sekedar (hanya) membantu mereka yang susah, tidak sekedar
(hanya) berteriak protes terhadap ketidakadilan yang timbul di tengah
masyarakat, tidak lagi sekedar (hanya) menyerukan seruan kenabian dimana mengajak
orang lain untuk berubah dan berbuat kebaikan tetapi harus masuk lebih jauh,
lebih dalam menjadi bagian dari perubahan sosial tersebut.
Menjadi bagi dari perubahan itu
artinya memilih untuk berpijak, terlibat dan berpihak pada kaum miskin, hina
dina, lemah papah, kaum yang tertindas, kaum yang terasing dan diasingkan, kaum
terbuang dan dibuang. OMK harus ada ditengah situasi sosial (Inklusif),
terlibat aktif untuk melakukan perubahan (Proaktif) dan mengambil posisi selalu
berpihak pada kaum yang tak beruntung tersebut (Identitas).
Keterlibatan OMK dalam konteks
ini adalah keterlibatan proaktif. Sebagai pribadi tentu saja OMK haruslah mampu
menjadi bagian dari perubahan, haruslah mampu menjadi tanda bagi perubahan di
lingkungan sosialnya (lingkungan sekolah, lingkungan kuliah, lingkungan kerja)
sedangkan dalam ruang lingkup komunitas maka peran keterlibatan OMK harus
terjawab dalam program kerja dan aktivitas organisasinya. SEMOGA
Referensi
1. Kompendium
Ajaran Sosial Gereja, www.vatican.va/roman_curia_councils
2. Kieser DR.B.
1993, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja. Pustaka Teologi, Penerbit
Kanisius Cetakan kedua 1993.
3. Jaringan
OMK/Mudika se Indonesia, Catatan diskusi berbagai sumber. Facebook Grup,
Moderator Lilik Krismantoro, 2011.
5. Ajaran Sosial
Gereja, artikel http://reliursu.blogspot.com/2010/07/ajaran-sosial-gereja.htm
*) Faris
Valeryan Wangge, Tim
kerja/Pendamping OMK Komisi Kepemudaan Keuskupan Denpasar. Disampaikan dalam Pendidikan
Kaderisasi Basis OMK –se Bali, OSF Tuka Dalung, 01 – 03 September
2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar