A.
CITA NEGARA
HUKUM DAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers
sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945
Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.[3] Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro
penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara
komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral.
Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu
kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum,
yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem
terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen
kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para
subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma
aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum
itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan
pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan
peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya,
kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan penegakan hukum dalam
arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan
peran kepolisian, kejaksaan, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata
melibatkan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula
kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan
pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti
seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law
information management) sebagai kegiatan penunjang. Kelima kegiatan itu
biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu (i)
fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta
(iii) fungsi yudikatif atau judisial[4]. Organ legislatif adalah lembaga
parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ
judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan. Kesemua itu harus pula dihubungkan dengan
hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang
terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur
tingkat kabupaten/kota.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat
sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah,[5] tercakup pengertian sistem hukum
yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD
1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan
komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum
sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana
mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental
(civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada
kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan
perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law
enforcing). Bahkan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin
berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori
fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka
pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan
hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi
pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di
hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus
diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di
Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan
Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku terpencil di pulau-pulau kecil di seluruh
wilayah Nusantara.
Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan
saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan
negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat
kesejahteraan dan pengetahuan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada
persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu
informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Tetapi di
negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya,
serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikannya
seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam
masyarakat tidak bersifat simetris. Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku
sesuatu norma hukum kepada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak
terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang
diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses
kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal
tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara
kegiatan pembuatan hukum (law making) dan penegakan hukum (law
enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasyarakatan hukum (law
socialization) yang cenderung diabaikan dan dianggap tidak penting selama
ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang menyadari
hak dan kewajibannya secara hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan
efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu sistem
yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan
hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat
atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi
membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek
saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya
sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan
mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang
diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang
ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu
dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu
menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan
Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.
B. PENEGAKAN
HUKUM
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan
untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum,
baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts
resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan
hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai
perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan
sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan
hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan
terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya –yang lebih sempit lagi—
melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan,
advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya sangat
menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan
hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang
atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya
masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung
aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua,
penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi
dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat
penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum
terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal (institutionalized).
Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan
melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai
faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem
yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan
kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain
meliputi (i) legislator (politisi)[6],
(ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta
tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit.
Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut,
diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan
dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan
dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental,
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum ini
perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi di lingkungan
lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga
perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini
dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan. Di
samping itu, pembinaan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dilakukan
melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesinya masing-masing, seperti Ikatan
Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan
sebagainya.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga memerlukan kepemimpinan dalam
semua tingkatan yang memenuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan
diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan
penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemimpinan tersebut diharapkan
dapat menjadi teladan bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai
integritas kepribadian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses
pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law
education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh
para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens
suatu norma hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan,
pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam
rangka perwujudan ide negara hukum di masa depan. Beberapa faktor yang
terkait dengan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sistem dan
infra struktur informasi hukum yang berbasis teknologi informasi (information
technology); (b) peningkatan Upaya Publikasi, Komunikasi dan Sosialisasi
Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan
citra dan keteladanan-keteladanan di bidang hukum.
Dalam rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya
media digital dan elektronika, baik radio, televisi maupun jaringan internet
dan media lainnya yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Mengenai
televisi dan radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat
banyak dan karena itu, kemungkinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak
dari pemerintah seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mungkin lagi
terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah
tersedia sangat banyak dan beragam. Namun,
arus informasi dari pemerintah kepada masyarakat, khususnya berkenaan
dengan pendidikan dan pemasyarakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu,
pembangunan media khusus tersebut dirasakan sangat diperlukan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan termasuk
mengenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media
pendidikan hukum seperti yang dimaksud.
C. PERAN
ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung
terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi
advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab[7],
sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada
Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum
lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan
suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat
merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan
untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi
Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang
bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi
Negara.[8]
Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya
penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara,
bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara
dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama
praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata
rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau
tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah
dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu
harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi
Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu
agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat
yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:
“Demi Allah saya bersumpah/saya
berjanji :
- bahwa
saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa
saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak
jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak
akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau
pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang
sedang atau akan saya tangani;
- bahwa
saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai
dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa
saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di
dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung
jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani
profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya
setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi,
meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa
meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan
hukum dan keadilan.
Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai
penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU
Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap
pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh
Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa
advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
a. mengabaikan
atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang
tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap,
bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan
sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau
pengadilan;
d. berbuat
hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan
martabat profesinya;
e. melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar
sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
D. INFRASTRUKTUR
SISTEM KODE ETIK ADVOKAT
Untuk menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika
yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di
setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata
tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di
lingkungan organisasi-organisasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau
Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organisasi. Namun, baru
sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah
memiliki perangkat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan
Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika
dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga
tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti
tidak sungguh-sungguh dijadikan pedoman perilaku berorganisasi. Pada umumnya,
dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut
hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah
nasional organisasi yang bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut hanya
biasa dilupakan.
Demikian pula halnya UU
Advokat teleh menentukan adanya kewajiban menyusun kode etik profesi advokat
oleh Organisasi Advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat.
Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan
ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode
etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun
infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur
tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik
aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan
rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme
penegakan kode etik
juga harus dilembagakan melalui
pembentukan Dewan Kehormatan yang credible
diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.
Sebagai organisasi profesi
yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu
harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip
transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi
Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat
demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi
dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
_______________. “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan
dan Realitas di Masa Depan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
______________. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and
State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell,
1961.
Montesquieu. The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell
& Sons, Ltd, 1914.
Phillips, O. Hood and Paul Jackson. Constitutional
And Administrative Law. Eighth
Edition. London: Sweet & Maxwell, 2001.
[1] Bahan Orasi Hukum pada acara “Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007 –
2012”. Bandung, 19 Januari 2008.
[3] Pasal 1 ayat (3) ini
merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
[4] Montesquieu, The
Spirit of the laws, Translated by
Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67.
[5] Hans Kelsen, General
Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York; Russell
& Russell, 1961), hal. 115 dan 123-124.
[6] Untuk sementara ini,
para politisi sebagai legislator di lembaga perwakilan memang belum dapat
dikategorikan sebagai profesi yang tersendiri. Akan tetapi, di lingkungan
sistem politik yang sudah mapan dan peran-peran profesional telah terbagi
sangat ketat, jabatan sebagai anggota parlemen juga dapat berkembang makin lama
makin profesional. Politisi lama kelamaan menjadi profesi karena menjadi
pilihan hidup profesional dalam masyarakat.
[8]
Lihat Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006
mengenai Pengujian Undang-Undang Advokat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar