Pablo Neruda:
Kakimu
Jika tak bisa kutatap wajahmu
aku memandangi kakimu.
Kakimu, lengkung tulang,
kaki kecil yang tegar.
Aku tahu kaki itu yang mendukungmu,
dan berat tubuh indahmu,
bangkit dari kedua kakimu.
Pinggul dan dadamu,
noktah kembar merah
lembayung putingmu,
lekuk matamu
mengalir, mengalir,
bibirmu: ranum buah,
rambutmu: ikal merah,
menara kecilku.
Tapi aku cinta kakimu
kerana hanya langkahnya
melintasi bumi
menembus angin
melewati air,
hingga akhirnya:
mendapati aku.
Pablo Neruda:
Puedo Escribir (Aku Boleh Menulis)
Mungkin dapat kutulis, “Malam berkeping-keping
dan bintang-bintang biru gemetar di kejauhan.”
Angin malam hari bergulung di angkasa dan bernyanyi
Malam ini kutulis syair kesedihan
Aku mencintainya, kadang-kadang ia mencintaiku juga
Bermalam-malam seperti malam ini kuikat dia dengan pelukan
Aku menciumnya berulang-ulang di bawah langit kekal
Ia mencintaiku, kadang-kadang aku mencintainya juga
Aneh sekali jika engkau enggan menaruh hati pada binar
matanya
Malam ini kutulis syair kesedihan
Berfikir jika aku tak memilikinya. Andai aku kehilangan
dirinya
Mendengar malam yang lengang, semakin sunyi tanpanya
Sajak-sajak berjatuhan ke dalam jiwa bagai embun di padang
rumput
Mungkin cintaku tak mampu menahannya
Malam berkeping-keping dan ia tak bersamaku
Di kejauhan seseorang bernyanyi. Jauh sekali
Jiwaku pilu kehilangan dirinya
Pandanganku mencarinya seakan hendak mengejarnya
Hatiku mencarinya, dan ia tak bersamaku
Malam sama putihnya dengan pepohonan
Waktu itu, kita, telah sangat berubah
Aku tak lagi mencintainya, tentu, namun mengapa aku
mencintainya
Suaraku mengejar angin yang menyentuh daun telinganya
Yang lain. Dia akan menjadi milik yang lain. Seperti
kecupan-kecupanku sebelumnya
Suaranya. Tubuhnya yang bercahaya. Matanya yang kekal
Aku tak lagi mencintainya, tentu, namun mungkin aku
mencintainya
Mencinta tak semudah melupakan
Sebab bemalam-malam seperti malam ini kuikat dia dalam
pelukan
Jiwaku sedih kehilangan dia
Mungkin inilah akhir duka sebab ia telah membuatku nestapa
dan inilah syair terakhir yang kutulis untuknya
John Masefield:
Demam Laut
Aku mesti turun ke laut kembali, ke laut luas udara bebas
Kuminta hanya kapal besar tambah bintang penunjuk jalan
Gemertak roda kemudi, nyanyian angin dan gedebar layar putih
Dan embun roda di permukaan laut dan keabuan dinihari yang
membuka
Aku mesti turun ke laut kembali, kerana panggilan musim
berpacu
Ialah panggilan jalang dan panggilan pasti yang tak dapat
dielakkan
Kuminta hanya hari berangin dengan awan putih berkejaran
Dan gedebur ombak, mekar busa dan camar menjerit-jerit
Aku mesti turun ke laut kembali, ke hidup kelana pengembara
Menurutkan jalan camar dan jalan yu, di mana angin tajam
bagaikan pisau
Kuminta hanya gembira dari teman-teman yang tertawa
Dan tidur yang puas, mimpi yang enak, bila perjalanan jauh
telah lampau
Requiem
Di bawah langit luas berterabur bintang
kaugali kubur dan biar aku telentang
girang aku hidup dan mati aku girang
dan kurebahkan diri bersama satu amanat
Beginilah sajak bagiku kauterakan
di sini ia berbaring di tempat ia idamkan
telah pulang nelayan, pulang dari lautan
dan pemburu telah turun dari bukit
~ Robert Louis Stevenson
Tak Pernah Kulihat Padang
Tak pernah kulihat padang
tak pernah kulihat lautan
namun kukenal pucuk gelenggang
dan tahu makna gelombang
Tak pernah kusapa Tuhan
mahupun berkunjung ke syurga
namun tempatnya dapat kupastikan
sebagai tertera di peta
~ Emily Dickinson
Sitor Situmorang:
Lagu Gadis Itali
Kerling danau di pagi hari
loceng gereja di bukit Itali
jika musimmu tiba nanti
jemputlah abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
leceng gereja bukit Itali
andai abang tak kembali
adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
pasir teduh di bawah nyiur
abang lenyap hatiku hancur
mengejar bayang di salju gugur
~ Sitor Situmorang
‘Mati’ sebelum Engkau Mati
Tafsiran Muutu Qabla anta Muutu : Rumi
(’Mati’ sebelum Engkau Mati)
Kau sudah banyak menderita
Tetapi kau masih terbalut tirai’
Karena kematian adalah pokok segala
Dan kau belum memenuhinya
Deritamu tak kan habis sebelum kau ‘Mati’
Kau tak kan meraih atap tanpa menyelesaikan anak tangga
Ketika dua dari seratus anak tangga hilang
Kau terlarang menginjak atap
Bila tali kehilangan satu elo dari seratus
Kau tak kan mampu memasukkan air sumur ke dalam timba
Hai Amir, kau tak kan dapat menghancurkan perahu
Sebelum kau letakan “mann” terakhir…
Perahu yang sudah hancur berpuing-puing
Akan menjadi matahari di Lazuardi
Karena kau belum ‘Mati’,
Maka deritamu berkepanjangan
Hai Lilin dari Tiraz, padamkan dirimu di waktu fajar
Ketahuilah mentari dunia akan tersembunyi
Sebelum gemintang bersembunyi
Arahkan tombakmu pada dirimu
Lalu ‘Hancurkan’lah dirimu
Karena mata jasadmu seperti kapas di telingamu…
Wahai mereka yang memiliki ketulusan…
Jika ingin terbuka ‘tirai’
Pilihlah ‘Kematian’ dan sobekkan ‘tirai’
Bukanlah karena ‘Kematian’ itu kau akan masuk ke kuburan
Akan tetapi karena ‘Kematian’ adalah Perubahan
Untuk masuk ke dalam Cahaya…
Ketika manusia menjadi dewasa, matilah masa kecilnya
Ketika menjadi Rumi, lepaslah celupan Habsyi-nya
Ketika tanah menjadi emas, tak tersisa lagi tembikar
Ketika derita menjadi bahagia, tak tersisa lagi duri
nestapa…
(Mawlana Jalal ad-Diin Rumi)
Kembali Pada Tuhan
Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!
Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepadaNya!
Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
kerana Tuhan, dengan rahmatNya
akan tetap menerima mata wang palsumu!
Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.
Begitulah caranya!
Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayuhlah datang, dan datanglah lagi!
Kerana Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepadaKu,
kerana Akulah jalan itu.”
~ Jalaluddin Rumi
Empat Lelaki Dan Penterjemah
Empat orang diberi sekeping wang.
Pertama adalah orang Persia, ia berkata, “Aku akan membeli
anggur.”
Kedua adalah orang Arab, ia berkata, “Tidak, kerana aku
ingin inab.”
Ketiga adalah orang Turki, ia berkata, “Aku tidak ingin
inab, aku ingin uzum.”
Keempat adalah orang Yunani, ia berkata, “Aku ingin stafil.”
Kerana mereka tidak tahu erti nama-nama tersebut, mereka
mulai bertengkar. Mereka memang sudah mendapat informasi, tetapi tanpa
pengetahuan.
Orang bijak yang memperhatikan mereka berkata, “Aku tidak dapat
memenuhi semua keinginan kalian, hanya dengan sekeping wang yang sama. Jika
kalian jujur
percayalah kepadaku, sekeping wang kalian akan menjadi
empat; dan keempatnya akan menjadi satu.”
Mereka pun tahu bahawa sebenarnya keempatnya dalam bahasa
masing-masing, menginginkan benda yang sama, buah anggur.
~ Jalaluddin Rumi
Jalan
Jalan sudah ditandai.
Jika menyimpang darinya,
kau akan binasa.
Jika mencuba mengganggu tanda-tanda jalan tersebut,
kau melakukan perbuatan syaitan.
~ Jalaluddin Rumi
Siapa Di Pintuku?
Katanya, “siapa di pintuku?”
Jawabku,”hamba-Mu yang lata,”
Katanya, “urusan apa yang kamu punya?”
Jawabku, ” ‘tuk mencumbu-Mu ya Rabb,”
Katanya,”berapa lama bakal kau kembara?”
Jawabku,”sampai Kau cegat daku,”
Katanya,”berapa lama kau didihkan di api?”
Jawabku, “sampai diriku murni,”
“Inilah sumpah cintaku
Demi Cinta semata
Kutinggalkan harta dan kuasa.”
Katanya, “kamu buktikan kasusmu
Tapi, kamu takpunya saksi,”
Kataku,”Tangisku, saksiku
wajah pasiku, saksiku,”
Katanya, saksimu takpunya sahsiah
matamu membasah ‘tuk dilihat.”
Jawabku,”atas kerahiman, adil-Mu
Mataku cerah dan tanpa salah,”
Katanya,”Apa yang kaucari?”
Jawabku, “Kamu! ‘tuk jadi rekan dampinganku,”
Katanya, “apa yang kamu mau dariku,”
Jawabku,”Kemuliaan, kemesraanmu,”
Katanya,”Siapa teman sekembaramu?”
Jawabku,”Ingatan kepada-Mu, O Sang Raja,”
Katanya, “Apa yang membuatmu ke mari?”
Jawabku,”Kelezatan anggur-Mu,”
Katanya, “Apa yang membuatmu puas?”
Jawabku, “Dampingan-Mu Sang Maharaja”
Katanya,”Apa yang kamu temui di sini?”
Jawabku, “Seratus keajaiban,”
Katanya,”Mengapa istana ditinggal porakperanda?”
Jawabku,”Mereka takutkan perampok,”
Katanya, “Siapa perampok itu?”
jawabku,” Seseorang yang lari dari-Mu,”
Katanya,”Tidak adakah keselamatan di situ?”
Jawabku,”Dengan hadirnya Cinta-Mu,”
Katanya,” Apa faedah yang kamu terima dari kehidupan?”
Jawabku,”Dengan jujur kepada diriku,”
Kini masa untuk menyepi.
Kalau kukatakan padamu tentang intisari sebenarnya
Kau bakal terbang, dirimu akan sirna
Dan tiada pintu, tiada bumbung dapat menarikmu kembali.
Jalaluddin Rumi:
Bahagia Sejenak
Bahagia sejenak
kamu dan aku duduk di serambi
kita dua, tapi satu roh, kamu dan aku
kita rasa aliran air kehidupan di sini
kamu dan aku dengan keindahan taman
dan burungburung bernyanyi
bintangbintang menatap kita
dan kita menanyakan mereka
‘gimana mau menjadi bulan sabit kecil
kamu dan aku bukan diri, bakal menyatu
takberasingan, betapa spekulasi kamu dan aku.
tiong syorgawi bakal retakkan gula
waktu kita tertawa bersama, kamu dan aku
dalam satu bentuk di muka bumi ini
dan dalam bentuk lain di bumi manis
di kebebasan waktu yang tak tecatat
JALALUDDIN RUMI
Tanpa Cinta, Segalanya Tak Bernilai
Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang
hidupmu adalah hidup. Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung
pada Hari Perhitungan
nanti. Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta, akan menjelma
menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya.
Burung-burung Kesedaran telah turun dari langit dan terikat
pada bumi sepanjang dua atau tiga hari. Mereka merupakan bintang-bintang di
langit agama yang
dikirim dari langit ke bumi. Demikian pentingnya Penyatuan
dengan Allah dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya.
Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting dalam zikir hari
yang kau gerakkan dari Persatuan. Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira
bagaikan sekumpulan
kebahagiaan. Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau
larut dalam kepedihan ? Sang lili berbisik pada kuncup : “Matamu yang menguncup
akan segera mekar.
Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan.”
Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah
melalui Kerendahan Hati. Hingga dia akan sampai pada jawaban “YA” dalam
pertanyaan : “Bukankah Aku ini
Rabbmu ?”
Jalaluddin Rumi:
Tertutuplah Pintu-
Bahasa
Ada kucupan yang sungguh kami ingini
pada sepanjang hidup kami,
sentuhan sang Jiwa pada tubuh kami.
Air laut memohon mutiara
agar memecahkan cengkerangnya.
Dan bunga Lili, sepenuh nafsu
menunggu Kekasih yang liar!
Ketika malam, kubuka jendela
kupinta bulan datang bertandang
dan membenamkan wajahnya pada wajahku.
bernafas ke dalam diriku.
Menutup pintu-bahasa
Membuka jendela-cinta.
Bulan yang tak memerlukan pintu
ia hanya rindu jendela yang terbuka.
~ Jalaluddin Rumi
Setelah Setahun
Kesunyian
Tentang seseorang di pintu Sang Kekasih
dan mengetuk. Ada suara bertanya, “Siapa di sana?”
Dia menjawab, “Ini Aku.”
Sang suara berkata, “Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu.”
Pintu tetap tertutup
Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali
dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya, “Siapa di
sana?”
Dia berkata, “Inilah Engkau.”
Maka, sang pintu pun terbuka untuknya.
~ Jalaluddin Rumi
Kearifan Cinta
CINTA yang dibangkitkan
oleh khayalan yang salah
dan tidak pada tempatnya
bisa saja menghantarkannya
pada keadaan ekstasi.
Namun kenikmatan itu,
jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya
kekasih yang sedar akan hadirnya seseorang yang
mencintainya ini
sebagaimana kenikmatan lelaki
yang memeluk tugu batu
di dalam kegelapan sambil menangis dan meratap.
Meskipun dia merasa nikmat
kerana berfikir bahawa yang dipeluk adalah kekasihnya, tapi
jelas tidak senikmat
orang yang memeluk kekasih sebenarnya
kekasih yang hidup dan sedar.
~ Jalaluddin Rumi
Sajak
Chairil Anwar
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Sajak
Chairil Anwar
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
---Maret 1943
Sajak
Chairil Anwar
HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Sajak
Chairil Anwar
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November
1943
Chairil Anwar
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
Chairil Anwar
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
Chairil Anwar
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Sajak
Chairil Anwar
MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
Sajak
Chairil Anwar
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
Sajak
Chairil Anwar
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
sajak
Sapardi Djoko Damono
TENTANG MATAHARI
Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.
sajak
Sapardi Djoko Damono
BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari
mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang
memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di
antara kami yang harus berjalan di depan
sajak
Sapardi Djoko Damono
KAMI BERTIGA
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata --
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
sajak
Sapardi Djoko Damono
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
sajak
Sapardi Djoko Damono
MATA PISAU
mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
sajak
Eka Budianta
Bulan dan traktor bersatu di ladang
Malam-malam begini, komputer & cengkerik
Sama-sama menyanyikan rindu padamu
Lalu kamu, sedang apa sahabatku?
Di Tiom, bersama komputer & traktor
Kubayangkan engkau sedang mengolah Indonesia
Sementara di eskalator ini aku berdiri
Menatap masa depan dan masa lalu
Yang tiba-tiba berkumpul jadi hari ini
Aku paham London berderak, bangsa bergerak
Di Stasiun ini aku cuma berdiri
persis seperti lazimnya manusia
Padahal engkau bergolak, Tiom menggelegak
Orang bertanya Irian ini siapa punya
Kalau yang punya pohon, kenapa banyak
salesman dan televisi?
Orang-orang menukar koteka dengan komputer
Supaya modern, katanya, supaya berbudaya.
Sementara aku dan sejuta merpati tidur
Menyiapkan tenaga, agar bisa terbangkan
puisi, katanya juga diperlukan
Untuk menyuruh sarjana menanam rambutan,
piara ayam dan ikan di kolam.
Atau sekedar memaksa pemburu berhenti
menembaki burung, menyate penyu.
Kalau sajak ini sampai, sahabatku
Katakan pada kepala suku, aku tidak diam
sajak
Eka Budianta
SURAT DARI LANGIT
"Siapa tak jatuh cinta pada malam?" tanyamu
"Aku," jawabku. Sebab aku matahari
Siang ini masuk ke kamarmu di bukit
Sementara burung-burung gagak mencari buah pir,
Pohon besar di lembah meranggas
Dan rumput berserakan daunan kering.
Gadis berbaju biru berambut emas menunggu
Ia bukan mawar yang layu di musim dingin
Bukan juga malam, nama samaranmu
Tapi ia memandang jalan bersama matahari
Membiarkan jam berlalu, berlalu, berlalu.
Bayang-bayang menimpa bunga gelagah
Seorang wanita lain lewat, lalu pergi
Berjuta-juta wanita lewat sianghari
Tapi bukan kamu. Jelas bukan kamu, langitku
sajak
Goenawan Mohamad
TIGRIS
Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan
Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan
Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi
Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi
Setelah itu, kita tak akan di sini
Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?
Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah
Jangan menangis.
Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.
Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.
(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)
1986
dikutip dari: Asmaradana, Grasindo, 1992
sajak
Goenawan Mohamad
PADA ALBUM MIGUEL DE COVAROBIAS
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.
Pundakmu
yang bebas ,
akan kurampas
dari sia-sia.
Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta
kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.
Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura
juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk
Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali...
Mari.
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
Tiar "Iyang" Rahman
puisi kelima belas
yang kau titipkan pada jernihnya sungai
di desa kita dahulu
yang kadang keruh
karena gembala memandikan kerbaunya
sebelum beranjak pulang
:"AKU PUN RINDU"
sudah kudengar salammu
yang kausampaikan dengan kokok ayam pagi hari
dan burung pipit yang bernyanyi di jendela hati
bangunlah....
:"SALAM JUGA BAGIMU"
(semoga selamat, rahmat dan berkah Alloh terlimpah untukmu)
sudah kusentuh kecemasan dan tangisanmu
yang kausampaikan lewat suratmu
yang kau berdiri di serambi rumahmu
menanti hari-hari
akankah ku kembali?
:"INSYA ALLOH AKU 'KAN KEMBALI"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
Tiar "Iyang" Rahman
Puisi ke sembilan belas
ramai nian burung walet di pagi ini
nan bercuat-cuit beterbangan
di bawah jembatan, di pucuk sungai enim
masih pagi, masih sepi
akh... andai aku punyo sayap
aku nak melok kamu
melintas dan meyambar-nyambar bayangan di banyu
sekali-kali mengangkaso dan melewati jembatan besi
tentu seneng nian hati ini
dan kalo kamu ngerti bahasoku:
"hai kanceku..... aku sedang merindu
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
Tiar "Iyang" Rahman
Puisi ke dua puluh lima
terkurung dalam kungkungan bukit barisan
aku hanya bisa menerawang
langit malam yang tiada berbintang
aku ingin pulang
kala siang datang menjelang
hanya kulihat layang-layang diatas awan
mungkin dari atas sana
bisa kulihat kampung halaman
pada kungkungan bukit barisan
aku hanya ingin mengakhiri penantian
rindu sungguh di hati meradang
aku ingin pulang...
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
Tiar "Iyang" Rahman
PUISI KE DUAPULUH
pada mata yang berkaca-kaca
kucari dusta, tetapi tiada
walau sudah kucari di semua sudut matanya
pada mata yang berka-kaca
kucari duka, juga tiada
sebab senyum di bibirnya mau berkata
:"Aku tak pernah merasa susah"
lewat mata yang berkaca-kaca
ia hanya ingin bicara
:"Jagalah titipan rinduku untukmu"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
kucari dusta, tetapi tiada
walau sudah kucari di semua sudut matanya
pada mata yang berka-kaca
kucari duka, juga tiada
sebab senyum di bibirnya mau berkata
:"Aku tak pernah merasa susah"
lewat mata yang berkaca-kaca
ia hanya ingin bicara
:"Jagalah titipan rinduku untukmu"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
PERJALANAN
jalan berkelok menghentak
tajam
lebih menghentak di banding jalan puncak
lebih gelap dari jalan lintas sumatera
terguncang-guncang dalam bis
tanpa suara
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
tajam
lebih menghentak di banding jalan puncak
lebih gelap dari jalan lintas sumatera
terguncang-guncang dalam bis
tanpa suara
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
CITEPUS 1
adzan shubuh bersahutan
dan ombak berdebum memecah pantai
menggemuruh, meledak
gelap
sesekali kilat tanpa suara
menerangi angkasa
lampu-lampu kapal dan lampu di anjungan
berkelap-kelip manja
kuasa-Mu Tuhan...
indahnya
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
indahnya
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
ANAK GUNUNG TURUN KE PANTAI
anak gunung turun ke pantai
pikiran bingung jadi santai
anak gunung turun ke pantai
hati yang pundung menjadi damai
anak gunung menjadi anak
pantai
tak ada murung, semua bersorak sorai....
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
tak ada murung, semua bersorak sorai....
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
CITEPUS 2
mandi di laut?
nanti dululah
tetapi serasa ada yang memanggil
"berubahlah kalian semua
menjadi anak kecil
berenang ...... menjemput ombak
membuat istana pasir
jadilah anak kecil
memercikkan air, saling melempar pasir"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
berenang ...... menjemput ombak
membuat istana pasir
jadilah anak kecil
memercikkan air, saling melempar pasir"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
CITEPUS 3
"Om tiar... Om Tiar..
ke tengah laut Om..."
jangan terlalu ke tengah laut, berbahaya
di sini saja
mari kita pukul ombak yang datang ....byur..
kita tendang...byur
sekarang duduklah membelakangi ombak...
ha... ha... kita terbawa gelombang
"Om Tiar... lebih ke tengah lagi..."
Ya... boleh tapi tetap hati-hati.
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
CITEPUS
4 Tiar "Iyang" Rahman
"Om gendong Om.....!"
ya... ya...
coba lihat ombak itu
byur... ha..ha..
"Om ada kerang!"
ada isinya enggak.... bawa
pulang aza
eh jangan deh... dilepas saja di pantai
lihat saja dan biarkan ia bebas...
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
eh jangan deh... dilepas saja di pantai
lihat saja dan biarkan ia bebas...
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
PAK GEMBALA
berjalan sendiri dengan kerbaunya
asyik mengayunkan cemeti
menyusuri pinggiran pantai
"Cepat ambil gambarnya!"
yah enggak keburu
pak gembala tetap asyik sendiri
sambil mengayunkan cemeti
membunyikannya di angkasa
terus berjalan
entah kemana
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
pak gembala tetap asyik sendiri
sambil mengayunkan cemeti
membunyikannya di angkasa
terus berjalan
entah kemana
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
I-M-U
kutuliskan di atas pasir
kira-kira tak tersapu ombak
"Yant... IMU"
tapi ombak tetap datang
membawa serta pasir dan tulisan
aku tersenyum
"Bukan seperti ini rindu dan cintaku padamu"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
"Bukan seperti ini rindu dan cintaku padamu"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
KARANG KAWU
ombaknya lebih keras
lebih menggunung
pecah di karang
karang-karang yang indah
gelombang air yang menggunung
pecah di antara karang
menjadi putih berbuih
buih yang berbisik:
"Penuhi aku dengan sayangmu,
Sapa aku dengan puisimu!"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
pecah di antara karang
menjadi putih berbuih
buih yang berbisik:
"Penuhi aku dengan sayangmu,
Sapa aku dengan puisimu!"
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
SEANDAINYA
pulang yang diguyur hujan
menyusuri tapak jejak yang kemarin
deras bersenandung meninabobokan yang lain
aku terjaga dalam hujan
"seandainya kau ada bersamaku
bersama-sama mengukir kenangan di pantai itu"
17-18 Oktober 1999
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
Sajak-sajak
Tiar "Iyang" Rahman
Bangun.....
seribu bunga sedang bersemi merekah
di tepi jendela kamar
semerbak harum menyengat
menggairahkan,
walau kau tak sempat datang
sekilas senyummu
padamkan api resah jiwa
walau kau tak melihatku
tersenyum riang serasa terbang
tapi dengarlah:
"terima kasih........aku sayang kamu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar