Pengembangan masyarakat dapat ditinjau dari sisi (a) proses, (b)
metode, (c) program, (d) gerakan, (e) sistem, dan (f) bidang studi.
Pengembangan Masyarakat (PM) adalah pendekatan yang sangat peduli terhadap
pendamping dan pengembangan manusia dengan menggunakan secara efektif baik
inisiatif maupun energi lokal dalam rangka memperkembangkan produktivitas dan
standar kehidupan menjadi lebih baik. Jadi, Pengembangan Masyarakat adalah
kegiatan/aksi sosial yang menempatkan manusia/masyarakat sehingga mereka dapat:
Mengorganisir diri untuk dapat
merencanakan dan berkegiatan
Mendefinisikan/merumuskan kebutuhan
dan problem individual dan umum
Membentuk kelompok dan perencanaan
sendiri sehingga mampu menjawab
kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang ada
Mengoptimalkan kemampuan, inisiatif
dan energi yang dimiliki
Menjalin kerjasama dengan kelompok
lain
Apa Tujuan Pengembangan
Masyarakat?
Membantu masyarakat menemukan
cara/jalan untuk mengorganisirkan diri
Mendampingi masyarakat mampu membuat
perencanaan (secara teknis dan aksi)
agar masyarakat semakin berkembang dan maju.
Jadi, arah/tujuan PM adalah terbentuknya Organization for Action (FA); maka perlu
diupayakan:
Adanya teknik/kiat/cara yang
mempermudah masyarakat melakukan aksi
Berlangsungnya proses demokratisasi
Semakin banyak orang berpartisipasi
Metode sederhana sehingga orang-orang
dapat berdiskusi dengan mudah
Bagaimana (caranya) tujuan itu
dapat di capai?
Masyarakat harus semakin mampu
mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan
Masyarakat semakin mampu menentukan
prioritas dari kebutuhan dan permasalahannya
Masyarakat semakin mengetahui sumber
daya yang memilikinya
Semakin banyak pemimpin dan kader
lokal muncul.
Apa Prinsip dan Filosofi
Pengembangan Masyarakat ?
Semua kegiatan/aksi harus bercorak bottom up.
Partisipatoris (dan demokratis).
Asistensi (teknik-teknik pemecahan
masalah).
Kepemimpinan local.
Akseleratif.
Humanistis.
Bagaimana Memahami Pengembangan
Masyarakat ?
Fokus PM ialah komunitas masyarakat
dan keluarga.
PM sebagai proses mencermati apa yang
(sedang) terjadi dalam masyarakat baik
secara sosiologis maupun psikologis.
PM sebagai metode menekankan
teknik-teknik yang dapat dipergunakan.
PM sebagai program berarti fokus
perhatian lebih pada keseluruhan kegiatan.
PM sebagai gerakan, artinya terfokus
pada kegiatan tertentu yang paling relevan saat
ini (kontekstual).
PM sebagai bidang studi mengarahkan
analisis kepada bagaimana memperkembangkan aspek-aspek kemanusiaan.
Mengapa kegiatan Pengembangan
Masyarakat itu justru harus bercorak variatif/tidak
sama dari satu tempat ke tempat
lain
Variasi dipengaruhi oleh
faktor-faktor :
Tidak ada dua komunitas itu sama
Perbedaan cara memakai sesuatu/segala
sesuatu
Perbedaan level partisipasi
Kebijakan pemerintah (yang cenderung
seragam)
Aras dan praktek demokrasi
Latar belakang pendidikan
Kebutuhan keluarga dan/atau komunitas
berbeda-beda
B. MENGENAL PRINSIP-PRINSIP
PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Prinsip-Prinsip Partisipatif
Konsep partisipasi sebagai sebuah
pendekatan dalam program pembangunan
masyarakat sebenarnya sudah muncul
pada awal tahun 1980-an. Persoalannya adalah
dalam pelaksanannya terjadi
penyimpangan makna. Partisipasi hanya digunakan sebagai
label terhadap peran serta
masyarakat, tanpa menyentuh pada substansi peran serta itu
sendiri. Peran serta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan misalnya, cukup
hanya dilihat pada kehadiran dan
persetujuan atas segala keputusan yang telah ditentukan
sebelumnya. Peran serta dalam proses
politik, cukup berupa kampanye dan pemungutan
suara.
Apa Sebenarnya Pengertian
Partisipasi Itu?
Beberapa ahli mendefinisikan
partisipasi sebagai berikut:
“Partisipasi adalah gerakan
masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan,
dalam pelaksanaan kegiatan, ikut
menikmati hasil dari kegiatan tersebut, dan ikut serta
dalam mengevaluasinya. “(Upholf,
1992).
“Partisipasi adalah suatu proses di
mana berbagai pelaku (stakeholders) dapat
mempengaruhi serta membagi wewenang
dalam menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan,
keputusan serta pengalokasian
berbagai sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka.
“(Bank dunia, 1994).
Pengembangan Masyarakat menggunakan
pendekatan partisipatif, mengingat
beberapa manfaat dalam program
berupa: efisien, efektif, menjalin kemitraan,
memberdayakan kapasitas, memperluas
ruang lingkup, meningkatkan ketepatan kelompok
sasaran, berkelanjutan, memberdayakan
kelompok marjinal dan meningkatkan akuntabilitas.
Meskipun disadari bahwa dengan
pendekatan ini, membutuhkan biaya yang besar dan
lambatnya proses pengambilan
keputusan.
Pertama, partisipasi akan mendukung
keberhasilan dari pelaksana program yang
didampingi. Kedua, memperoleh legitimasi dari
masyarakat. Untuk itu, kemauan politik
(political will) dari pemerintah daerah sangat
diperlukan. Dalam pelaksanaannya, proses
partisipatif seharusnya dimulai sejak
identifikasi & analisis stakholders, konsultasi tingkat
daerah, penyusunan program
pembangunan (strategi program, program investasi, program
pembiayaan, dan program pengembangan
kelembagaan), penguatan forum NGOs dalam
pengawalan aspirasi masyarakat dalam
perencanaan, hingga monitoring dan evaluasi.
Melalui rangkaian panjang tersebut di
atas, proses dan mekanisme perencanaan
partisipatif diharapkan selalu muncul
dalam setiap penggalian aspirasi & kebutuhan,
konsultasi, penyepakatan, dan
pengambilan keputusan. Aktor-aktor yang terlibat meliputi
masyarakat, pemerintah daerah, dan
unsur-unsur lain yang terlibat dalam kegiatan
pengembangan masyarakat, dimana
program/proyek dilaksanakan.
Keuntungan-keuntungan partisipasi
antara lain :
a. Mampu merangsang timbulnya swadaya
masyarakat, yang merupakan dukungan
penting bagi pembangunan.
b. Mampu meningkatkan motivasi dan
ketrampilan masyarakat dalam membangun.
c. Pelaksanaan pembangunan, semakin
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat.
d. Jangkauan pembangunan menjadi
lebih luas, meskipun dengan dana yang terbatas.
e. Tidak menciptakan ketergantungan
masyarakat terhadap pemerintah dan pihak lain.
Prinsip-prinsip yang dipaparkan di
atas adalah basis untuk mengembangkan pendekatan
dan strategi yang partisipatif sesuai
dengan kondisi lokalitas dan komunitas. Dengan kata
lain, prinsip-prinsip dalam pedoman
buku ini bukan “Petunjuk Pelaksanaan” tetapi suatu
landasan berfikir untuk mengembangkan
kreatifitas semua stakeholders dalam upaya
mengembangkan partisipasi dan
aspirasi masyarakat.
Pengembangan Partisipasi dan
Aspirasi Masyarakat Berbasis Komunitas dan Lokalitas
Konsep “komunitas” mengandung makna
adanya “keterkaitan” yang tidak hanya
secara ekologis dan ekonomis, tetapi
juga secara sosiologis. Terutama pada tingkat
pengambilan keputusan, upaya
pengembangan masyarakat akan menciptakan beragam
“keterkaitan” yang berhubungan secara
fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem
kelembagaan lokal yang berpengaruh
terhadap kehidupan komunitas. Tingkat lokalitas
dicirikan oleh kesatuan komunitas
yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan pusat
interaksi sebagai pusat pertumbuhan.
Tingkat kelompok, sebagai kesatuan masyarakat yang
mengidentifikasi diri berdasarkan
karakteristik tertentu, seperti lingkup pekerjaan,
kekerabatan, jender dan sebagainya.
Sedangkan lingkup organisasi yang lebih kecil adalah
rumah tangga. Organisasi ini tunduk
pada pengaruh dari ketiga tingkat operasional di
atasnya. Lebih dari itu, beragam
keterkaitan tersebut merupakan representasi dari “hubungan
kelembagaan” antar seluruh stakeholders dalam suatu kawasan tertentu.
Dalam konteks ini, konsep “lokalitas” mengandung pengetian
pertama “ikatan sosial”
yang berlandaskan teritorial dimana
masyarakat di kawasan tersebut hidup dalam suatu
lokalitas tertentu dengan eksistensi
yang jelas; kedua “ikatan sosial” berdasarkan lingkup
pekerjaan (profesi) dimana hubungan
antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai
intensitas interaksi yang tinggi
dalam suatu waktu tertentu; ketiga “ikatan sosial” yang
dibangun berdasarkan jaringan sosial
(social networking) sebagai nilai tambah dari modal
sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada
pengembangan masyarakat. Dengan
demikian, secara sosiologis upaya
pengembangan masyarakat perlu “didekati” dengan
pengembangan berbasis lokal yang
menjalin “ikatan sosial” antara tingkat kelompok,
komunitas dan lokalitas.
Dengan demikian, pengembangan
partisipasi dan aspirasi masyarakat relevan
dilakukan dengan pendekatan “pengembangan
masyarakat” (“masyarakat” dipahami sebagai
masyarakat di tingkat komunitas dan
lokalitas serta hubungan diantaranya). Oleh karena itu,
istilah pengembangan masyarakat
memiliki ruang lingkup yang relatif luas. Conyer
mengajukan tiga komponen pendekatan
pengembangan masyarakat. Pertama,
adanya
penekanan yang diarahkan pada fungsi
kemandirian, termasuk sumber-sumber dan tenaga
setempat serta kemampuan manajemen
lokal. Kedua, penekanan pada penyatuan
masyarakat sebagai suatu kesatuan;
terlihat dari adanya pembentukan organisasi-organisasi
lokal termasuk di dalamnya
lembaga-lembaga yang bertanggung jawab masalah administrasi
atau suatu bentuk lembaga masyarakat.
Ketiga, keyakinan umum mengenai situasi dan
arah
perubahan sosial serta
masalah-masalah yang ditimbulkannya. Aspek khusus dalam
perubahan sosial yang menjadi
pemikiran pokok berbagai program pembangunan
masyarakat, yaitu adanya ketimpangan
baik di dalam maupun di antara komunitas-komunitas
tersebut.
Organisasi-organisasi pengembangan
masyarakat (lokal dan pendatang) disertakan
dalam usaha-usaha kelompok-kelompok
akar rumput (grassroots) untuk merevitalisasi
kelompok masyarakat ketetanggaan yang
berpendapatan rendah dan menengah melalui
pembangunan perumahan, simulasi
ekonomi, pelatihan dan konsultasi kerja. Semakin lama,
usaha-usaha ini terjadi dalam bentuk
kerjasama antara beragam stakeholders dan
pemerintah lokal.
Melalui pendekatan dan strategi “pengembangan
masyarakat”, diharapkan
pemberdayaan masyarakat dapat
berlangsung secara dinamis sesuai dengan kondisi sosio
budaya, politik dan ekonomi
masyarakat yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat
terentang dari upaya perjuangan yang
lebih luas untuk memperoleh kebebasan sampai
dengan memperoleh kesempatan
mengembangkan diri. Dengan demikian pemberdayaan
masyarakat tidak saja berkaitan
dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, pengembangan
sumber daya manusia, atau perubahan
kerangka institusi, tetapi juga berkaitan dengan
pengembangan kapasitas masyarakat
untuk melepaskan diri dari perbedaan-perbedaan
rasial ketidak-seimbangan kelas dan
jender, dan menghapuskan penindasan mayoritas.
Dengan kata lain, pemberdayaan
masyarakat menyangkut berbagai pendekatan “manusiawi”
untuk mencapai sasaran program
pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Artinya, standar-standar hidup layak,
tetapi dengan cara-cara yang “pantas” dilihat dari
perspektif peningkatan kapasitas
masyarakat.
Membangun dan Mengembangkan
Jejaring Sosial sebagai Wahana Pengembangan
Partisipasi dan Aspirasi
Masyarakat
Dalam konteks pengembangan
partisipasi dan aspirasi masyarakat, pengembangan
jejaring perlu dilandasi pada
pemahaman terhadap sistem relasi antar stakeholders yang
berbasis komunitas dan lokalitas.
Dalam hal ini asumsinya adalah stakeholder memiliki
konsep/pemahaman yang sama mengenai
pengembangan jejaring. Dengan kata lain, perlu
dibangun pemahaman bersama diantara stakeholder mengenai jejaring sosial.
Untuk pengembangan partisipasi dan
aspirasi masyarakat, perguruan tinggi, LSM,
dan stakeholders yang lain dapat berperan serta melalui pendekatan jejaring
pengembangan
kelompok-kelompok usaha produktif
dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai
stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan
modal sosial (social capital). Disamping
itu, pengembangan usaha-usaha ekonomi
produktif karena sampai sejauh ini pengembangan
tersebut memerlukan transaction cost yang tinggi.
Salah satu alternatif adalah pengembangan
jejaring tersebut dengan pendekatan
jejaring kelembagaan kolaboratif
mulai dari tingkat komunitas sampai dengan tingkat
lokalitas. Implementasi
prinsip-prinsip kesetaraan, lebih bersifat informal, partisipasif, adanya
komitmen yang kuat, dan mensinergikan
kekuatan-kekuatan yang ada sangat membantu
memecahkan permasalahan dan menemukan
solusi dalam upaya pengembangan usahausaha
ekonomi produktif di pedesaan.
Pengembangan partisipasi dan aspirasi
melalui kegiatan usaha-usaha produktif yang
berbasiskan kepada komunitas dan
lokalitas diharapkan dapat melibatkan stakeholders yang
lain (kelembagaan kolaboratif),
seperti organisasi pemerintah. Keberhasilan jejaring sebagai
media untuk perumusan policy menjadi sangat penting tetapi ini
semua tergantung kepada
komitmen semua stakeholders dalam jejaring tersebut.
Terdapat beragam institusi di
pedesaan. Meskipun sangat sedikit jumlah yang
bergerak dalam usaha-usaha produktif
yang berbasis pada komunitas dan telah melembaga,
(baik disektor pertanian maupun non
pertanian). Jejaring kelembagaan kolaboratif yang akan
dikembangkan harus mampu menjalin
hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan di antara
institusi-institusi tersebut. Oleh
karena itu, sistem jejaring yang terbentuk perlu
mempertimbangkan mekanisme yang ada
pada sistem tradisional, karena mereka yang akan
menyaring penduduk yang ingin masuk
dan dia yang akan menghambat pasar untuk
dihapus, sehingga masyarakat tidak
mengalami kesengsaraan. Hal-hal demikian perlu diingat
dalam membangun jejaring yang ada.
Dalam hal pendanaan kegiatan
produktif di kawasan transmigrasi, peranan
pemerintah lokal lebih bersifat
sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah
lokal perlu mengalokasikan dana untuk
masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di
kawasan ini. Dalam hal ini penguatan
kelembagaan merupakan hal penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Untuk itu
harus ada kesepakatan, bahwa dimulai dengan
penguatan kelembagaan dan alokasi
dana. LSM yang bergiat dalam pemberdayaan
masyarakat bisa melengkapi kegiatan
usaha-usaha produktif di pedesaan.
Apabila dilandasi dengan respon yang
baik serta prinsip-prinsip partisipatoris maka
hasil pemikiran stakeholders di tingkat lokal atau nasional perlu
dikembalikan pada jejaringan
di tingkat komunitas dan lokal,
sehingga rumusan-rumusan dari jejaring ini perlu mendapat
tanggapan dari seluruh masyarakat di
pedesaan. Jaringan informasi berbasis komunitas
tersebut tidak harus diformalkan.
Peranan Pemerintah Lokal sebagai
Fasilitator dalam Pengembangan Partisipasi dan
Aspirasi Masyarakat
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pendampingan merupakan bagian
integrasi dari proses membangun dan
memberdayakan masyarakat. Oleh karen itu, seorang
pendamping atau Fasilitator atau
Community Organizer (CO) tidak sekedar dituntut untuk
menguasai teknik tertentu untuk
memfasilitasi, tetapi juga harus mampu membangun
kemampuan stakeholder lainnya mengenali konteks program
secara keseluruhan. Aksi-aksi
bersama stakeholder lainnya harus didasarkan pada
pemahaman yang sama tentang visi ke
depan dari suatu program dan dengan
demikian mereka dapat membangun struktur
hubungan yang diperlukan dalam rangka
mencapai hasil yang dikehendaki.
Fasilitator dan CO adalah bagian
integral dari pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat dan fasilitator mengemban
misi kemanusiaan. Fasilitator pada hakekatnya
menempatkan diri sejajar dengan pihak
lain, sebagai landasan adanya kepercayaan. Oleh
karena dasarnya adalah moral, maka
konteks pendampingan tidak terbatas pada subtansi
program dimana seseorang ditugaskan.
Bahkan program itu sendiri merupakan sarana untuk
berempati. Fasilitator hendaknya
berempati dalam segenap kebutuhan yang melingkupi
“mitra kerja”. Dengan demikian,
fasilitator adalah orang yang mempunyai pengalaman dan
mengabdikan diri untuk suatu
pekerjaan khusus dan purna waktu berdasarkan pengetahuan
yang diperlukan.
Dengan pemahaman bersama mengenai
sistem relasi antar stakeholders tersebut
maka lingkup profesionalisme
fasilitator perlu dilakukan. Pertanyaannya adalah, sub sistem
manakah dari sistem relasi di
pedesaan akan difasilitasi oleh fasilitator? Ini berkenaan
dengan kebutuhan memfasilitasi. Kedua
sub-sistem relasi dan kebutuhan memfasilitasi akan
bersilangan dengan pilihan pendekatan
pendampingan yang akan dilakukan yakni (1)
pendekatan menolong diri sendiri (self help) (2) pendekatan pemenuhan kebutuhan
itu (3)
pendekatan konflik.
(1) Pendekatan Pertama adalah
menolong diri sendiri
Masyarakat di pedesaan menjadi
partisipan yang berarti dalam proses pembangunan
dan melakukan kontrol dalam kegiatan
pengembangan. Pendamping menjadi
fasilitator. Sedangkan komunitas
(petani) memegang tanggungjawab utama dalam :
(1) memutuskan apa yang menjadi
kebutuhannya (2) bagaimana memenuhi
kebutuhan itu (3) mengerjakannya
sendiri.
(2) Pendekatan Kedua adalah
pendampingan teknik:
Yang mendasarkan pada perkiraan
kebutuhan oleh para perencana yang dapat
mengantarkan dan mengevaluasi proses
pengembangan masyarakat. Perencana
seolah-olah ditugasi oleh masyarakat
setempat untuk mengembangkan sikap
rasionalitas mereka. Pengembangan
masyarakat dari perspektif ini bersifat spesifik
mencakup pengembangan teknik
pengelolaan jejaring sosial.
(3) Pendekatan Ketiga adalah
pendekatan konflik:
Pendekatan ini menekankan pada
usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat di
pedesaan bahwa apa yang baik
dilakukan oleh orang lain adalah baik juga untuk
dilakukannya. Oleh karena itu anggota
komunitas akan berusaha untuk berbuat yang
sama dengan referensi grupnya. Dalam
konteks pengembangan partisipasi dan
aspirasi masyarakat, maka
pendampingan dilakukan dengan teknik propaganda
sedemikian rupa sehingga warga desa
menyadari apa yang menjadi
ketertinggalannya dengan warga lain.
Adanya kemampuan diri sendiri dan
berfungsinya pendampingan akan
mengefektifkan pendekatan ketiga,
yakni pendekatan konflik dalam pengertian
memacu persaingan yang sehat pada
setiap organisasi warga desa. Salah satu
bentuk persaingan itu misalnya dalam
satu kelompok masyarakat, berwujud bantuan
dana pendampingan sebesar jumlah dana
yang telah dimiliki oleh sekelompok, atau
membantu membiayai penuh setengah
dari luas lahan yang digarapnya, yang
diharapkan berdampak pada penggunaan
dana sendiri (swadana) bagi lahan sisa.
Dengan kata lain, bantuan dalam
bentuk sarana berorganisasi atau sarana produksi
atau sumbangan dalam bentuk natura
lainnya yang menunjang kinerja kelompok yang
telah menunjukkan kemajuan awal.
Strategi konflik yang lain yang dapat
dipakai adalah menjelaskan standar-standar
yang harus dicapai oleh anggota
komunitas untuk mencapai kebutuhan normatif, dan
mengajak komunitas untuk secara
bersama-sama mencari jalan keluar untuk
mencapai standar normatif itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka
memfasilitasi merupakan bagian dari suatu proses
pendampingan. Istilah memfasilitasi
mencakup mengantarkan warga desa ke dalam pola
perilaku pertanian modern, serta
memberikan pelayanan teknis maupun material, yang
secara ekologis melaksanakan
prinsip-prinsip sustainability. Tindakan fasilitasi yang
diberikan merupakan hasil dari proses
pendampingan yang langsung dalam jangka waktu
yang relatif lama dan kontinyu. Atas
dasar kegiatan pendampingan dalam kurun waktu
tertentu itu maka pendamping dapat
memilah-milah mana yang menjadi prioritas untuk
difasilitasi, pilihan pendekatan dan
pilihan teknik pengembangan partisipasi dan aspirasi
masyarakat di kawasan tersebut.
Kebutuhan yang paling mendasar dalam
pendampingan adalah meletakkan konteks
pendamping. Oleh karena dalam
beberapa aspek bukanlah hal baru bagi stakeholders, maka
intensitas pendampingan akan berbeda
untuk setiap jenis kegiatan dalam upaya
pengembangan partisipasi dan aspirasi
masyarakat di kawasan tersebut. Peranan
pendamping yang tak kalah pentingnya
adalah memfasilitasi berbagai stakeholders, baik
yang dapat dikategorikan ke dalam public sector, private sector,
maupun collective action
sector. Misalnya, sampai sejauh mana dan
bagaimana peranan pendamping dalam
"menjembatani" berbagai stakeholders yang seharusnya mampu menciptakan
'keseimbangan dinamis" antara community based development dan local government
policies dalam rangka mendukung upaya
pengembangan komoditas unggulan lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar