Rabu, 25 April 2012

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK MASYARAKAT

A. DEFINISI PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pengembangan masyarakat dapat ditinjau dari sisi (a) proses, (b) metode, (c) program, (d) gerakan, (e) sistem, dan (f) bidang studi. Pengembangan Masyarakat (PM) adalah pendekatan yang sangat peduli terhadap pendamping dan pengembangan manusia dengan menggunakan secara efektif baik inisiatif maupun energi lokal dalam rangka memperkembangkan produktivitas dan standar kehidupan menjadi lebih baik. Jadi, Pengembangan Masyarakat adalah kegiatan/aksi sosial yang menempatkan manusia/masyarakat sehingga mereka dapat:
Mengorganisir diri untuk dapat merencanakan dan berkegiatan
Mendefinisikan/merumuskan kebutuhan dan problem individual dan umum
Membentuk kelompok dan perencanaan sendiri sehingga mampu menjawab
kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang ada
Mengoptimalkan kemampuan, inisiatif dan energi yang dimiliki
Menjalin kerjasama dengan kelompok lain
Apa Tujuan Pengembangan Masyarakat?
Membantu masyarakat menemukan cara/jalan untuk mengorganisirkan diri
Mendampingi masyarakat mampu membuat perencanaan (secara teknis dan aksi)
agar masyarakat semakin berkembang dan maju.
Jadi, arah/tujuan PM adalah terbentuknya Organization for Action (FA); maka perlu
diupayakan:
Adanya teknik/kiat/cara yang mempermudah masyarakat melakukan aksi
Berlangsungnya proses demokratisasi
Semakin banyak orang berpartisipasi
Metode sederhana sehingga orang-orang dapat berdiskusi dengan mudah

Bagaimana (caranya) tujuan itu dapat di capai?
Masyarakat harus semakin mampu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan
Masyarakat semakin mampu menentukan prioritas dari kebutuhan dan permasalahannya
Masyarakat semakin mengetahui sumber daya yang memilikinya
Semakin banyak pemimpin dan kader lokal muncul.
Apa Prinsip dan Filosofi Pengembangan Masyarakat ?
Semua kegiatan/aksi harus bercorak bottom up.
Partisipatoris (dan demokratis).
Asistensi (teknik-teknik pemecahan masalah).
Kepemimpinan local.
Akseleratif.
Humanistis.
Bagaimana Memahami Pengembangan Masyarakat ?
Fokus PM ialah komunitas masyarakat dan keluarga.
PM sebagai proses mencermati apa yang (sedang) terjadi dalam masyarakat baik
secara sosiologis maupun psikologis.
PM sebagai metode menekankan teknik-teknik yang dapat dipergunakan.
PM sebagai program berarti fokus perhatian lebih pada keseluruhan kegiatan.
PM sebagai gerakan, artinya terfokus pada kegiatan tertentu yang paling relevan saat
ini (kontekstual).
PM sebagai bidang studi mengarahkan analisis kepada bagaimana memperkembangkan aspek-aspek kemanusiaan.
Mengapa kegiatan Pengembangan Masyarakat itu justru harus bercorak variatif/tidak
sama dari satu tempat ke tempat lain
Variasi dipengaruhi oleh faktor-faktor :
Tidak ada dua komunitas itu sama
Perbedaan cara memakai sesuatu/segala sesuatu
Perbedaan level partisipasi
Kebijakan pemerintah (yang cenderung seragam)
Aras dan praktek demokrasi
Latar belakang pendidikan
Kebutuhan keluarga dan/atau komunitas berbeda-beda
B. MENGENAL PRINSIP-PRINSIP PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Prinsip-Prinsip Partisipatif
Konsep partisipasi sebagai sebuah pendekatan dalam program pembangunan
masyarakat sebenarnya sudah muncul pada awal tahun 1980-an. Persoalannya adalah
dalam pelaksanannya terjadi penyimpangan makna. Partisipasi hanya digunakan sebagai
label terhadap peran serta masyarakat, tanpa menyentuh pada substansi peran serta itu
sendiri. Peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan misalnya, cukup
hanya dilihat pada kehadiran dan persetujuan atas segala keputusan yang telah ditentukan
sebelumnya. Peran serta dalam proses politik, cukup berupa kampanye dan pemungutan
suara.
Apa Sebenarnya Pengertian Partisipasi Itu?
Beberapa ahli mendefinisikan partisipasi sebagai berikut:
“Partisipasi adalah gerakan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan,
dalam pelaksanaan kegiatan, ikut menikmati hasil dari kegiatan tersebut, dan ikut serta
dalam mengevaluasinya. “(Upholf, 1992).
“Partisipasi adalah suatu proses di mana berbagai pelaku (stakeholders) dapat
mempengaruhi serta membagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan,
keputusan serta pengalokasian berbagai sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka.
“(Bank dunia, 1994).
Pengembangan Masyarakat menggunakan pendekatan partisipatif, mengingat
beberapa manfaat dalam program berupa: efisien, efektif, menjalin kemitraan,
memberdayakan kapasitas, memperluas ruang lingkup, meningkatkan ketepatan kelompok
sasaran, berkelanjutan, memberdayakan kelompok marjinal dan meningkatkan akuntabilitas.
Meskipun disadari bahwa dengan pendekatan ini, membutuhkan biaya yang besar dan
lambatnya proses pengambilan keputusan.
Pertama, partisipasi akan mendukung keberhasilan dari pelaksana program yang
didampingi. Kedua, memperoleh legitimasi dari masyarakat. Untuk itu, kemauan politik
(political will) dari pemerintah daerah sangat diperlukan. Dalam pelaksanaannya, proses
partisipatif seharusnya dimulai sejak identifikasi & analisis stakholders, konsultasi tingkat
daerah, penyusunan program pembangunan (strategi program, program investasi, program
pembiayaan, dan program pengembangan kelembagaan), penguatan forum NGOs dalam
pengawalan aspirasi masyarakat dalam perencanaan, hingga monitoring dan evaluasi.
Melalui rangkaian panjang tersebut di atas, proses dan mekanisme perencanaan
partisipatif diharapkan selalu muncul dalam setiap penggalian aspirasi & kebutuhan,
konsultasi, penyepakatan, dan pengambilan keputusan. Aktor-aktor yang terlibat meliputi
masyarakat, pemerintah daerah, dan unsur-unsur lain yang terlibat dalam kegiatan
pengembangan masyarakat, dimana program/proyek dilaksanakan.
Keuntungan-keuntungan partisipasi antara lain :
a. Mampu merangsang timbulnya swadaya masyarakat, yang merupakan dukungan
penting bagi pembangunan.
b. Mampu meningkatkan motivasi dan ketrampilan masyarakat dalam membangun.
c. Pelaksanaan pembangunan, semakin sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat.
d. Jangkauan pembangunan menjadi lebih luas, meskipun dengan dana yang terbatas.
e. Tidak menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dan pihak lain.
Prinsip-prinsip yang dipaparkan di atas adalah basis untuk mengembangkan pendekatan
dan strategi yang partisipatif sesuai dengan kondisi lokalitas dan komunitas. Dengan kata
lain, prinsip-prinsip dalam pedoman buku ini bukan “Petunjuk Pelaksanaan” tetapi suatu
landasan berfikir untuk mengembangkan kreatifitas semua stakeholders dalam upaya
mengembangkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.




Pengembangan Partisipasi dan Aspirasi Masyarakat Berbasis Komunitas dan Lokalitas
Konsep “komunitas” mengandung makna adanya “keterkaitan” yang tidak hanya
secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosiologis. Terutama pada tingkat
pengambilan keputusan, upaya pengembangan masyarakat akan menciptakan beragam
“keterkaitan” yang berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem
kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas. Tingkat lokalitas
dicirikan oleh kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan pusat
interaksi sebagai pusat pertumbuhan. Tingkat kelompok, sebagai kesatuan masyarakat yang
mengidentifikasi diri berdasarkan karakteristik tertentu, seperti lingkup pekerjaan,
kekerabatan, jender dan sebagainya. Sedangkan lingkup organisasi yang lebih kecil adalah
rumah tangga. Organisasi ini tunduk pada pengaruh dari ketiga tingkat operasional di
atasnya. Lebih dari itu, beragam keterkaitan tersebut merupakan representasi dari “hubungan
kelembagaan” antar seluruh stakeholders dalam suatu kawasan tertentu.
Dalam konteks ini, konsep lokalitas” mengandung pengetian pertama “ikatan sosial”
yang berlandaskan teritorial dimana masyarakat di kawasan tersebut hidup dalam suatu
lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua “ikatan sosial” berdasarkan lingkup
pekerjaan (profesi) dimana hubungan antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai
intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu waktu tertentu; ketiga “ikatan sosial” yang
dibangun berdasarkan jaringan sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari modal
sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat. Dengan
demikian, secara sosiologis upaya pengembangan masyarakat perlu “didekati” dengan
pengembangan berbasis lokal yang menjalin “ikatan sosial” antara tingkat kelompok,
komunitas dan lokalitas.
Dengan demikian, pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat relevan
dilakukan dengan pendekatan “pengembangan masyarakat” (“masyarakat” dipahami sebagai
masyarakat di tingkat komunitas dan lokalitas serta hubungan diantaranya). Oleh karena itu,
istilah pengembangan masyarakat memiliki ruang lingkup yang relatif luas. Conyer
mengajukan tiga komponen pendekatan pengembangan masyarakat. Pertama, adanya
penekanan yang diarahkan pada fungsi kemandirian, termasuk sumber-sumber dan tenaga
setempat serta kemampuan manajemen lokal. Kedua, penekanan pada penyatuan
masyarakat sebagai suatu kesatuan; terlihat dari adanya pembentukan organisasi-organisasi
lokal termasuk di dalamnya lembaga-lembaga yang bertanggung jawab masalah administrasi
atau suatu bentuk lembaga masyarakat. Ketiga, keyakinan umum mengenai situasi dan arah
perubahan sosial serta masalah-masalah yang ditimbulkannya. Aspek khusus dalam
perubahan sosial yang menjadi pemikiran pokok berbagai program pembangunan
masyarakat, yaitu adanya ketimpangan baik di dalam maupun di antara komunitas-komunitas
tersebut.
Organisasi-organisasi pengembangan masyarakat (lokal dan pendatang) disertakan
dalam usaha-usaha kelompok-kelompok akar rumput (grassroots) untuk merevitalisasi
kelompok masyarakat ketetanggaan yang berpendapatan rendah dan menengah melalui
pembangunan perumahan, simulasi ekonomi, pelatihan dan konsultasi kerja. Semakin lama,
usaha-usaha ini terjadi dalam bentuk kerjasama antara beragam stakeholders dan
pemerintah lokal.
Melalui pendekatan dan strategi “pengembangan masyarakat”, diharapkan
pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung secara dinamis sesuai dengan kondisi sosio
budaya, politik dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat
terentang dari upaya perjuangan yang lebih luas untuk memperoleh kebebasan sampai
dengan memperoleh kesempatan mengembangkan diri. Dengan demikian pemberdayaan
masyarakat tidak saja berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, pengembangan
sumber daya manusia, atau perubahan kerangka institusi, tetapi juga berkaitan dengan
pengembangan kapasitas masyarakat untuk melepaskan diri dari perbedaan-perbedaan
rasial ketidak-seimbangan kelas dan jender, dan menghapuskan penindasan mayoritas.
Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat menyangkut berbagai pendekatan “manusiawi”
untuk mencapai sasaran program pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Artinya, standar-standar hidup layak, tetapi dengan cara-cara yang “pantas” dilihat dari
perspektif peningkatan kapasitas masyarakat.
Membangun dan Mengembangkan Jejaring Sosial sebagai Wahana Pengembangan
Partisipasi dan Aspirasi Masyarakat
Dalam konteks pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat, pengembangan
jejaring perlu dilandasi pada pemahaman terhadap sistem relasi antar stakeholders yang
berbasis komunitas dan lokalitas. Dalam hal ini asumsinya adalah stakeholder memiliki
konsep/pemahaman yang sama mengenai pengembangan jejaring. Dengan kata lain, perlu
dibangun pemahaman bersama diantara stakeholder mengenai jejaring sosial.
Untuk pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat, perguruan tinggi, LSM,
dan stakeholders yang lain dapat berperan serta melalui pendekatan jejaring pengembangan
kelompok-kelompok usaha produktif dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai
stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan modal sosial (social capital). Disamping
itu, pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif karena sampai sejauh ini pengembangan
tersebut memerlukan transaction cost yang tinggi.
Salah satu alternatif adalah pengembangan jejaring tersebut dengan pendekatan
jejaring kelembagaan kolaboratif mulai dari tingkat komunitas sampai dengan tingkat
lokalitas. Implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, lebih bersifat informal, partisipasif, adanya
komitmen yang kuat, dan mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada sangat membantu
memecahkan permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya pengembangan usahausaha
ekonomi produktif di pedesaan.
Pengembangan partisipasi dan aspirasi melalui kegiatan usaha-usaha produktif yang
berbasiskan kepada komunitas dan lokalitas diharapkan dapat melibatkan stakeholders yang
lain (kelembagaan kolaboratif), seperti organisasi pemerintah. Keberhasilan jejaring sebagai
media untuk perumusan policy menjadi sangat penting tetapi ini semua tergantung kepada
komitmen semua stakeholders dalam jejaring tersebut.
Terdapat beragam institusi di pedesaan. Meskipun sangat sedikit jumlah yang
bergerak dalam usaha-usaha produktif yang berbasis pada komunitas dan telah melembaga,
(baik disektor pertanian maupun non pertanian). Jejaring kelembagaan kolaboratif yang akan
dikembangkan harus mampu menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan di antara
institusi-institusi tersebut. Oleh karena itu, sistem jejaring yang terbentuk perlu
mempertimbangkan mekanisme yang ada pada sistem tradisional, karena mereka yang akan
menyaring penduduk yang ingin masuk dan dia yang akan menghambat pasar untuk
dihapus, sehingga masyarakat tidak mengalami kesengsaraan. Hal-hal demikian perlu diingat
dalam membangun jejaring yang ada.
Dalam hal pendanaan kegiatan produktif di kawasan transmigrasi, peranan
pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah
lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di
kawasan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan, bahwa dimulai dengan
penguatan kelembagaan dan alokasi dana. LSM yang bergiat dalam pemberdayaan
masyarakat bisa melengkapi kegiatan usaha-usaha produktif di pedesaan.
Apabila dilandasi dengan respon yang baik serta prinsip-prinsip partisipatoris maka
hasil pemikiran stakeholders di tingkat lokal atau nasional perlu dikembalikan pada jejaringan
di tingkat komunitas dan lokal, sehingga rumusan-rumusan dari jejaring ini perlu mendapat
tanggapan dari seluruh masyarakat di pedesaan. Jaringan informasi berbasis komunitas
tersebut tidak harus diformalkan.
Peranan Pemerintah Lokal sebagai Fasilitator dalam Pengembangan Partisipasi dan
Aspirasi Masyarakat
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendampingan merupakan bagian
integrasi dari proses membangun dan memberdayakan masyarakat. Oleh karen itu, seorang
pendamping atau Fasilitator atau Community Organizer (CO) tidak sekedar dituntut untuk
menguasai teknik tertentu untuk memfasilitasi, tetapi juga harus mampu membangun
kemampuan stakeholder lainnya mengenali konteks program secara keseluruhan. Aksi-aksi
bersama stakeholder lainnya harus didasarkan pada pemahaman yang sama tentang visi ke
depan dari suatu program dan dengan demikian mereka dapat membangun struktur
hubungan yang diperlukan dalam rangka mencapai hasil yang dikehendaki.
Fasilitator dan CO adalah bagian integral dari pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat dan fasilitator mengemban misi kemanusiaan. Fasilitator pada hakekatnya
menempatkan diri sejajar dengan pihak lain, sebagai landasan adanya kepercayaan. Oleh
karena dasarnya adalah moral, maka konteks pendampingan tidak terbatas pada subtansi
program dimana seseorang ditugaskan. Bahkan program itu sendiri merupakan sarana untuk
berempati. Fasilitator hendaknya berempati dalam segenap kebutuhan yang melingkupi
“mitra kerja”. Dengan demikian, fasilitator adalah orang yang mempunyai pengalaman dan
mengabdikan diri untuk suatu pekerjaan khusus dan purna waktu berdasarkan pengetahuan
yang diperlukan.
Dengan pemahaman bersama mengenai sistem relasi antar stakeholders tersebut
maka lingkup profesionalisme fasilitator perlu dilakukan. Pertanyaannya adalah, sub sistem
manakah dari sistem relasi di pedesaan akan difasilitasi oleh fasilitator? Ini berkenaan
dengan kebutuhan memfasilitasi. Kedua sub-sistem relasi dan kebutuhan memfasilitasi akan
bersilangan dengan pilihan pendekatan pendampingan yang akan dilakukan yakni (1)
pendekatan menolong diri sendiri (self help) (2) pendekatan pemenuhan kebutuhan itu (3)
pendekatan konflik.
(1) Pendekatan Pertama adalah menolong diri sendiri
Masyarakat di pedesaan menjadi partisipan yang berarti dalam proses pembangunan
dan melakukan kontrol dalam kegiatan pengembangan. Pendamping menjadi
fasilitator. Sedangkan komunitas (petani) memegang tanggungjawab utama dalam :
(1) memutuskan apa yang menjadi kebutuhannya (2) bagaimana memenuhi
kebutuhan itu (3) mengerjakannya sendiri.
(2) Pendekatan Kedua adalah pendampingan teknik:
Yang mendasarkan pada perkiraan kebutuhan oleh para perencana yang dapat
mengantarkan dan mengevaluasi proses pengembangan masyarakat. Perencana
seolah-olah ditugasi oleh masyarakat setempat untuk mengembangkan sikap
rasionalitas mereka. Pengembangan masyarakat dari perspektif ini bersifat spesifik
mencakup pengembangan teknik pengelolaan jejaring sosial.
(3) Pendekatan Ketiga adalah pendekatan konflik:
Pendekatan ini menekankan pada usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat di
pedesaan bahwa apa yang baik dilakukan oleh orang lain adalah baik juga untuk
dilakukannya. Oleh karena itu anggota komunitas akan berusaha untuk berbuat yang
sama dengan referensi grupnya. Dalam konteks pengembangan partisipasi dan
aspirasi masyarakat, maka pendampingan dilakukan dengan teknik propaganda
sedemikian rupa sehingga warga desa menyadari apa yang menjadi
ketertinggalannya dengan warga lain.
Adanya kemampuan diri sendiri dan berfungsinya pendampingan akan
mengefektifkan pendekatan ketiga, yakni pendekatan konflik dalam pengertian
memacu persaingan yang sehat pada setiap organisasi warga desa. Salah satu
bentuk persaingan itu misalnya dalam satu kelompok masyarakat, berwujud bantuan
dana pendampingan sebesar jumlah dana yang telah dimiliki oleh sekelompok, atau
membantu membiayai penuh setengah dari luas lahan yang digarapnya, yang
diharapkan berdampak pada penggunaan dana sendiri (swadana) bagi lahan sisa.
Dengan kata lain, bantuan dalam bentuk sarana berorganisasi atau sarana produksi
atau sumbangan dalam bentuk natura lainnya yang menunjang kinerja kelompok yang
telah menunjukkan kemajuan awal.
Strategi konflik yang lain yang dapat dipakai adalah menjelaskan standar-standar
yang harus dicapai oleh anggota komunitas untuk mencapai kebutuhan normatif, dan
mengajak komunitas untuk secara bersama-sama mencari jalan keluar untuk
mencapai standar normatif itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka memfasilitasi merupakan bagian dari suatu proses
pendampingan. Istilah memfasilitasi mencakup mengantarkan warga desa ke dalam pola
perilaku pertanian modern, serta memberikan pelayanan teknis maupun material, yang
secara ekologis melaksanakan prinsip-prinsip sustainability. Tindakan fasilitasi yang
diberikan merupakan hasil dari proses pendampingan yang langsung dalam jangka waktu
yang relatif lama dan kontinyu. Atas dasar kegiatan pendampingan dalam kurun waktu
tertentu itu maka pendamping dapat memilah-milah mana yang menjadi prioritas untuk
difasilitasi, pilihan pendekatan dan pilihan teknik pengembangan partisipasi dan aspirasi
masyarakat di kawasan tersebut.
Kebutuhan yang paling mendasar dalam pendampingan adalah meletakkan konteks
pendamping. Oleh karena dalam beberapa aspek bukanlah hal baru bagi stakeholders, maka
intensitas pendampingan akan berbeda untuk setiap jenis kegiatan dalam upaya
pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat di kawasan tersebut. Peranan
pendamping yang tak kalah pentingnya adalah memfasilitasi berbagai stakeholders, baik
yang dapat dikategorikan ke dalam public sector, private sector, maupun collective action
sector. Misalnya, sampai sejauh mana dan bagaimana peranan pendamping dalam
"menjembatani" berbagai stakeholders yang seharusnya mampu menciptakan
'keseimbangan dinamis" antara community based development dan local government
policies dalam rangka mendukung upaya pengembangan komoditas unggulan lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar