Selasa, 17 April 2012

P A R E N T I N G SKILL



P A R E N T I N G SKILL
(Pengaruh-pengaruh dalam pengasuhan (Influences on Parenting)
Ketika seseorang menjadi orangtua, mereka membawa kombinasi sifat-sifat pribadi (personal traits) dan pengalaman-pengalamannya. Individu yang menjadi orang tua tersebut mempunyai tingkatan kematangan, energi, kesabaran, kecerdasan, dan sikap. Karakteristik ini akan mempengaruhi kepekaan mereka terhadap kebutuhan anak, harapan terhadap diri mereka sendiri dan anak-anaknya, dan kemampuan mereka untuk melaksanakan tuntutan peran pengasuhan (Dix dalam Martin & Colbert, 1997)
Orangtua mempunyai ide tersendiri tentang bagaimana anak berkembang, belajar, dan perasaan terhadap proses pengasuhan. Kepercayaan ini merupakan dasar berpikir untuk merawat anaknya. Kepercayaan tersebut meliputi tahapan perkembangan, ide akan pentingnya pengaruh keturunan (heredity) dan lingkungan, harapan akan hubungan orangtua – anak, dan pikiran mengenai apa mendasari pengasuhan yang  baik dan yang buruk (Goodnow & Collins, 1990; McGillicuddy-DeLisi & Sigel, 1995 dalam Martin & Colbert, 1997).
Pola Asuh Orang Tua
Kompetensi sosial dan performa akademik seorang anak berhubungan dengan pola asuh yang diterapkan orangtua (Papalia & Olds, 1995). Menurut Diane Baumrind (dalam Berns 1997), ada tiga macam pola asuh.
a.   Pola asuh autoritharian
Biasanya tampak pada orangtua yang sangat menuntut kontrol perilaku dan sopan santun, sesuai dengan aturan-aturan ketat dan harapan yang ditetapkan oleh mereka sendiri. Anak diharapkan untuk patuh, dan standar orangtua diterapkan secara keras, memaksa, dan melalui hukuman-hukuman. Pola asuh seperti ini dapat menghalangi anak untuk berkembang secara maksimal sesuai dengan potensinya, dan mempengaruhi kemampuan anak untuk dapat membuat keputusan sendiri. Anak dapat merasa frustrasi, kesal, maral, dan menjadi tidak berani, tergantung, dan merasa tidak yakin pada dirinya sendiri.
a. Pola asuh autoritatif
Tampak di mana kontrol yang kuat dilatih dan diterapkan dengan cara yang penuh kasih sayang dan dalam suasana yang mendukung. Tujuan orangtua adalah menghargai dan meningkatkan kebebasan dan kemandirian anak, sekaligus memastikan bahwa perilaku mereka sesuai dengan standar yang ada di masyarakat. Pada pola ini, ada proses memberi dan menerima secara verbal, kontrol diberikan berdasarkan strategi yang rasional dan berorientasi pada masalah, serta orangtua bersedia memberikan penjelasan kepada anak tentang keputusan-keputusan yang diambil oleh orangtua.
Orang tua ini fleksibel namun tegas, memelihara kontrol dan disiplin namun memberikan alasan yang tepat untuk disiplin tersebut. Mereka juga mengkomunikasikan harapan-harapan mereka untuk anaknya, namun memberi kesempatan untuk berdiskusi. Disiplin yang mereka terapkan juga menekankan tanggung jawab, kerja sama, dan pengaturan diri.
Pola asuh seperti ini cenderung menghasilkan anak yang kompeten, memiliki tanggung jawab secara sosial, yakin pada dirinya, dan mandiri. Pada kondisi yang positif seperti inilah anak dapat mengembangkan rasa percaya diri yang tinggi dan konsep diri yang positif.
b. Pola asuh permisif
Orangtua yang permisif biasanya menghargai ekspresi diri dan pengaturan terhadap diri sendiri. Mereka tidak banyak memberi tuntutan, mengijinkan anak untuk sebanyak mungkin memonitor aktivitas mereka sendiri. Mereka memandang dirinya sebagai sumber (resources), menghindari diberlakukannya kontrol, dan tidak mendorong anak untuk mematuhi peraturan yang ditentukan oleh pihak eksternal. Mereka tidak mengontrol, tidak menuntut, dan cukup hangat. Namun demikian, anak biasanya akan tetap merasa tidak puas karena merasa tidak nyaman tanpa adanya kontrol, sehingga ia memberikan banyak energi pada usaha untuk mengontrol orangtua dan mencoba membuat orangtua mengontrol mereka. Hasilnya, anak menjadi tidak mampu menghadapi rasa frustrasi, mengalami kesulitan dalam menerima tanggung jawab, tidak dewasa secara sosial-emosional, dan kurangnya kontrol diri serta rasa percaya diri.
Gangguan Emosi
National Dissemination Center for Children with Disabilities dalam (www.nichcy.org ) menyatakan bahwa gangguan emosi (emotional disturbance)“ adalah kondisi yang menunjukkan adanya satu atau lebih karakteristik berikut yang terjadi pada periode yang cukup lama yang berpengaruh terhadap performa akademis anak. Kondisi tersebut adalah:
1. Ketidakmampuan untuk belajar yang tidak berhubungan dengan kecerdasan, sensori ataupun kesehatan.
2. Ketidakmampuan untuk membangun atau menjaga hubungan interpersonal dengan teman-teman sebaya dan guru.
3. Perilaku atau perasaan yang tidak sesuai pada kondisi lingkungan yang normal.
4. Adanya perasaan tidak senang atau depresi yang menetap.
5. Adanya kecenderungan simptom fisik atau ketakutan.
Karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi
Penyebab gangguan emosional tidak bisa ditentukan dengan pasti, meskipun beberapa faktor seperti keturunan, kerusakan otak, diet, stress, dan keluarga mungkin menjadi penyebabnya, penelitain tidak menunjukkan faktor-faktor tersebut menjadi penyebab utama gangguan emosi. Karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi dapat dilihat sebagai berikut:
Hyperactivity (attensi yang rendah, impulsif)
Aggression behavior (berkelahi)
Withdrawal (kurang dapat menginisiasi interaksi dengan orang lain, cemas)
from exchanges or social interaction, excessive fear or anxiety);
Immaturity (Menangis yang tidak jelas, temper tantrums, poor coping skills); and
Learning difficulties (prestasinya rendah)
Sementara itu, Cooper (dalam Farrel, 1995) menyatakan bahwa gangguan emosi adalah hasil interaksi yang kompleks antara faktor kontekstual dan aspek yang dibawa individu pada situasi tertentu. Konteks yang berpengaruh dalam hal ini adalah rumah, sekolah, dan kepribadian anak sendiri. Pada lingkungan rumah, terdapat beberapa pengalaman yang mungkin terjadi pada anak, antara lain:
- kurangnya perhatian orangtua terhadap sekolah
-    penerapan disiplin yang tidak konsisten
-    kurangnya atau lebihnya afeksi orangtua terhadap anak
-    adanya sikap permusuhan atau penolakan di rumah
-    kekerasan orangtua yang terlihat oleh anak
-    hukuman yang diberikan orangtua
-    penelantaran oleh orangtua
-    ketidakhadiran orangtua dalam mendidik anak
Farrel (1995) sendiri menyatakan bahwa anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku adalah terlihat pada gejalagejala berikut:
-     Adanya perbedaan yang signifikan antara kemampuan kognitifnya dengan prestasi yang dicapainya.
-     Anak biasanya menarik diri, kurang percaya diri, ataupun tidak mampu menjalin persahabatan dengan teman sebaya dalam waktu yang lama.
-     Sulit dalam hubungan sosial
-     Jarang hadir ke sekolah
-     Mempunyai kebiasaan makan yang obsesif
-     Anak sulit diprediksi, bizarre, obsesif, melakukan kekerasan
-     Berpartisipasi dalam perilaku bulliying
Konsep diri pada anak
Konsep diri adalah persepsi individu terhadap dirinya yang dibentuk melalui pengalaman dan bagaimana interpretasi individu tersebut terhadap ingkungannya (Shavelson dalam Bracken, 1996) Konsep diri yang terbentuk tersebut dipengaruhi oleh penilaian orang-orang signifikan terhadap individu, penguatan atas perilaku, dan atribusi individu terhadap perilakunya sendiri. Menurut Shavelson (dalam Bracken, 1996), konsep diri bukanlah entitas yang terdapat pada diri seseorang, melainkan konstruk hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi bagaimana seseorang bertindak. Konsep diri yang baik akan terlihat dari (www.virginiatech.com):
  • Merasa diterima oleh orang lain
  • Memiliki kompetensi
  • Percaya diri
  • Merasa aman
  • Merasa disenangi
  • Merasa berharga
  • Merasa bebas
  • Menerima diri sendiri
Anak yang merasa konsep dirinya baik, akan merasa puas dengan kehidupannya dan akan berpikir bahwa dunia adalah  tempat yang menarik. Konsep diri yang baik juga akan membuat anak mampu menerima tanggung jawab untuk meraih prestasi di sekolah, dan tumbuh menjadi pribadi yang produktif di lingkungannya (www.virginiatech.com).
Perilaku agresif pada anak
Anak yang berperilaku agresif, biasanya berlawanan dengan orang lain, melibatkan diri dalam perkelahian atau memulai perkelahian. Anak yang bertipe ini biasanya dilihat sebagai bully dan cenderung memiliki sedikit teman. Biasanya anak yang seperti ini lebih senang menyelesaikan permasalahan dengan berkelahi (www.about.com). Sementara itu, Renfrew (1997) lebih memfokuskan pada istilah agresi yang didefinisikan sebagai perilaku yang diarahkan individu untuk membuat orang lain berada pada kondisi yang membahayakan.
Menurut Bandura (dalam Renfrew, 1997), perilaku agresif diperoleh dari pengaruh lingkungan. Modelling merupakan pemerolehan yang penting dalam munculnya perilaku agresif, meskipun juga disebabkan oleh adanya penguatan. Efek daari medelling memang tidak otomatis, individu harus menggunakan mekanisme memori dan terjadi berulang sehingga perilaku agresi tersebut muncul. Ada tiga sebab yang dapat membuat individu memunculkan perilaku agresifnya melalui modelling, yaitu:
1). Keluarga. Orangtua yang melakukan hukuman misalnya, tanpa sadar sudah menyatakan pada anak-anaknya bahwa perilaku agresif adalah salah satu cara mengahdapi kehidupan.
2).  Subkultur. Jika anak tinggal pada daerah atau lingkungan yang sering berperilaku agresif,  anak juga akan berperilaku sama agar bisa mengikuti lingkungannya.
3). Model simbolik. Model ini biasanya didapatkan anak melalui media televisi dan film yang mengandung kekerasan.
Referensi
Bracken, B.A. (1996). Handbook of Self Concept: Developmental, Social, and Clinical Consideration. Canada: John Wiley & Sons.
Cruickshank, W.M. (1980). Psychology of Exceptional Children and Youth. New York: Prentice Hall Inc.
Farrel, Peter. (1995). Children with Emotional and Behavioural Difficulties: Strategies for assesment and Intervention. London : The Falmer Press.
Harwell, JM. (2001). Complete Learning Disabilities Handbook. 2nd ed. San Fransisco: John Wiley & Sons
Kirk, S.A, & Gallagher, J.J. (1986). Educating Exceptional Children 5th ed. Boston: Houghton Mifflin Company
Mangunsong, F. (1998). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Depok: LPSP3
Martin, C.A., Colbert, K.K.(1997). Parenting A Life Span Perspective. New York : McGraw-Hill
Renfrew, J.W. (1997). Agrression and Its Causes. New York: Oxford University Press
Weiner, IB. (2003). Handbook of Psychology. Vol 7 : Educational Psychology. New Jersey: John Wiley & Sons

Tidak ada komentar:

Posting Komentar