P A R E N T I N G SKILL
(Pengaruh-pengaruh dalam pengasuhan (Influences
on Parenting)
Ketika seseorang menjadi orangtua,
mereka membawa kombinasi sifat-sifat pribadi (personal traits) dan
pengalaman-pengalamannya. Individu yang menjadi orang tua tersebut mempunyai
tingkatan kematangan, energi, kesabaran, kecerdasan, dan sikap. Karakteristik
ini akan mempengaruhi kepekaan mereka terhadap kebutuhan anak, harapan terhadap
diri mereka sendiri dan anak-anaknya, dan kemampuan mereka untuk melaksanakan
tuntutan peran pengasuhan (Dix dalam Martin & Colbert, 1997)
Orangtua mempunyai ide tersendiri
tentang bagaimana anak berkembang, belajar, dan perasaan terhadap proses
pengasuhan. Kepercayaan ini merupakan dasar berpikir untuk merawat anaknya.
Kepercayaan tersebut meliputi tahapan perkembangan, ide akan pentingnya
pengaruh keturunan (heredity) dan lingkungan, harapan akan hubungan
orangtua – anak, dan pikiran mengenai apa mendasari pengasuhan yang baik
dan yang buruk (Goodnow & Collins, 1990; McGillicuddy-DeLisi & Sigel,
1995 dalam Martin & Colbert, 1997).
Pola
Asuh Orang Tua
Kompetensi sosial dan performa
akademik seorang anak berhubungan dengan pola asuh yang diterapkan orangtua
(Papalia & Olds, 1995). Menurut Diane Baumrind (dalam Berns 1997), ada tiga
macam pola asuh.
a. Pola asuh autoritharian
Biasanya tampak pada orangtua yang
sangat menuntut kontrol perilaku dan sopan santun, sesuai dengan aturan-aturan
ketat dan harapan yang ditetapkan oleh mereka sendiri. Anak diharapkan untuk
patuh, dan standar orangtua diterapkan secara keras, memaksa, dan melalui
hukuman-hukuman. Pola asuh seperti ini dapat menghalangi anak untuk berkembang
secara maksimal sesuai dengan potensinya, dan mempengaruhi kemampuan anak untuk
dapat membuat keputusan sendiri. Anak dapat merasa frustrasi, kesal, maral, dan
menjadi tidak berani, tergantung, dan merasa tidak yakin pada dirinya sendiri.
a. Pola asuh autoritatif
Tampak di mana kontrol yang kuat
dilatih dan diterapkan dengan cara yang penuh kasih sayang dan dalam suasana
yang mendukung. Tujuan orangtua adalah menghargai dan meningkatkan kebebasan
dan kemandirian anak, sekaligus memastikan bahwa perilaku mereka sesuai dengan
standar yang ada di masyarakat. Pada pola ini, ada proses memberi dan menerima
secara verbal, kontrol diberikan berdasarkan strategi yang rasional dan
berorientasi pada masalah, serta orangtua bersedia memberikan penjelasan kepada
anak tentang keputusan-keputusan yang diambil oleh orangtua.
Orang tua ini fleksibel namun tegas,
memelihara kontrol dan disiplin namun memberikan alasan yang tepat untuk
disiplin tersebut. Mereka juga mengkomunikasikan harapan-harapan mereka untuk
anaknya, namun memberi kesempatan untuk berdiskusi. Disiplin yang mereka
terapkan juga menekankan tanggung jawab, kerja sama, dan pengaturan diri.
Pola asuh seperti ini cenderung
menghasilkan anak yang kompeten, memiliki tanggung jawab secara sosial, yakin
pada dirinya, dan mandiri. Pada kondisi yang positif seperti inilah anak dapat
mengembangkan rasa percaya diri yang tinggi dan konsep diri yang positif.
b. Pola asuh permisif
Orangtua yang permisif biasanya
menghargai ekspresi diri dan pengaturan terhadap diri sendiri. Mereka tidak
banyak memberi tuntutan, mengijinkan anak untuk sebanyak mungkin memonitor
aktivitas mereka sendiri. Mereka memandang dirinya sebagai sumber (resources),
menghindari diberlakukannya kontrol, dan tidak mendorong anak untuk mematuhi
peraturan yang ditentukan oleh pihak eksternal. Mereka tidak mengontrol, tidak
menuntut, dan cukup hangat. Namun demikian, anak biasanya akan tetap merasa
tidak puas karena merasa tidak nyaman tanpa adanya kontrol, sehingga ia
memberikan banyak energi pada usaha untuk mengontrol orangtua dan mencoba
membuat orangtua mengontrol mereka. Hasilnya, anak menjadi tidak mampu
menghadapi rasa frustrasi, mengalami kesulitan dalam menerima tanggung jawab,
tidak dewasa secara sosial-emosional, dan kurangnya kontrol diri serta rasa
percaya diri.
Gangguan
Emosi
National Dissemination Center for
Children with Disabilities dalam
(www.nichcy.org ) menyatakan bahwa gangguan emosi (emotional
disturbance)“ adalah kondisi yang menunjukkan adanya satu atau lebih karakteristik
berikut yang terjadi pada periode yang cukup lama yang berpengaruh terhadap
performa akademis anak. Kondisi tersebut adalah:
1. Ketidakmampuan untuk belajar yang
tidak berhubungan dengan kecerdasan, sensori ataupun kesehatan.
2. Ketidakmampuan untuk membangun atau
menjaga hubungan interpersonal dengan teman-teman sebaya dan guru.
3. Perilaku atau perasaan yang tidak
sesuai pada kondisi lingkungan yang normal.
4. Adanya perasaan tidak senang atau
depresi yang menetap.
5. Adanya kecenderungan simptom fisik
atau ketakutan.
Karakteristik
anak yang mengalami gangguan emosi
Penyebab gangguan emosional tidak
bisa ditentukan dengan pasti, meskipun beberapa faktor seperti keturunan,
kerusakan otak, diet, stress, dan keluarga mungkin menjadi penyebabnya,
penelitain tidak menunjukkan faktor-faktor tersebut menjadi penyebab utama
gangguan emosi. Karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi dapat dilihat
sebagai berikut:
• Hyperactivity
(attensi yang rendah, impulsif)
• Aggression
behavior (berkelahi)
• Withdrawal
(kurang dapat menginisiasi interaksi dengan orang lain, cemas)
from
exchanges or social interaction, excessive fear or anxiety);
• Immaturity
(Menangis yang tidak jelas, temper tantrums, poor coping skills); and
• Learning
difficulties (prestasinya rendah)
Sementara
itu, Cooper (dalam Farrel, 1995) menyatakan bahwa gangguan emosi adalah hasil
interaksi yang kompleks antara faktor kontekstual dan aspek yang dibawa
individu pada situasi tertentu. Konteks yang berpengaruh dalam hal ini adalah
rumah, sekolah, dan kepribadian anak sendiri. Pada lingkungan rumah, terdapat
beberapa pengalaman yang mungkin terjadi pada anak, antara lain:
- kurangnya perhatian orangtua
terhadap sekolah
- penerapan
disiplin yang tidak konsisten
- kurangnya atau lebihnya
afeksi orangtua terhadap anak
- adanya sikap
permusuhan atau penolakan di rumah
- kekerasan
orangtua yang terlihat oleh anak
- hukuman yang
diberikan orangtua
- penelantaran
oleh orangtua
- ketidakhadiran
orangtua dalam mendidik anak
Farrel (1995) sendiri menyatakan
bahwa anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku adalah terlihat pada
gejalagejala berikut:
- Adanya
perbedaan yang signifikan antara kemampuan kognitifnya dengan prestasi yang
dicapainya.
- Anak
biasanya menarik diri, kurang percaya diri, ataupun tidak mampu menjalin
persahabatan dengan teman sebaya dalam waktu yang lama.
- Sulit
dalam hubungan sosial
- Jarang
hadir ke sekolah
- Mempunyai
kebiasaan makan yang obsesif
- Anak sulit
diprediksi, bizarre, obsesif, melakukan kekerasan
-
Berpartisipasi dalam perilaku bulliying
Konsep
diri pada anak
Konsep
diri adalah persepsi individu terhadap dirinya yang dibentuk melalui pengalaman
dan bagaimana interpretasi individu tersebut terhadap ingkungannya (Shavelson
dalam Bracken, 1996) Konsep diri yang terbentuk tersebut dipengaruhi oleh
penilaian orang-orang signifikan terhadap individu, penguatan atas perilaku,
dan atribusi individu terhadap perilakunya sendiri. Menurut Shavelson (dalam
Bracken, 1996), konsep diri bukanlah entitas yang terdapat pada diri seseorang,
melainkan konstruk hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi
bagaimana seseorang bertindak. Konsep diri yang baik akan terlihat dari
(www.virginiatech.com):
- Merasa diterima oleh orang lain
- Memiliki kompetensi
- Percaya diri
- Merasa aman
- Merasa disenangi
- Merasa berharga
- Merasa bebas
- Menerima diri sendiri
Anak yang merasa konsep dirinya
baik, akan merasa puas dengan kehidupannya dan akan berpikir bahwa dunia
adalah tempat yang menarik. Konsep diri yang baik juga akan membuat anak
mampu menerima tanggung jawab untuk meraih prestasi di sekolah, dan tumbuh
menjadi pribadi yang produktif di lingkungannya (www.virginiatech.com).
Perilaku
agresif pada anak
Anak yang berperilaku agresif,
biasanya berlawanan dengan orang lain, melibatkan diri dalam perkelahian atau
memulai perkelahian. Anak yang bertipe ini biasanya dilihat sebagai bully
dan cenderung memiliki sedikit teman. Biasanya anak yang seperti ini lebih
senang menyelesaikan permasalahan dengan berkelahi (www.about.com). Sementara
itu, Renfrew (1997) lebih memfokuskan pada istilah agresi yang didefinisikan
sebagai perilaku yang diarahkan individu untuk membuat orang lain berada pada
kondisi yang membahayakan.
Menurut Bandura (dalam Renfrew,
1997), perilaku agresif diperoleh dari pengaruh lingkungan. Modelling
merupakan pemerolehan yang penting dalam munculnya perilaku agresif, meskipun
juga disebabkan oleh adanya penguatan. Efek daari medelling memang tidak
otomatis, individu harus menggunakan mekanisme memori dan terjadi berulang
sehingga perilaku agresi tersebut muncul. Ada tiga sebab yang dapat membuat
individu memunculkan perilaku agresifnya melalui modelling, yaitu:
1). Keluarga. Orangtua yang
melakukan hukuman misalnya, tanpa sadar sudah menyatakan pada anak-anaknya
bahwa perilaku agresif adalah salah satu cara mengahdapi kehidupan.
2). Subkultur. Jika
anak tinggal pada daerah atau lingkungan yang sering berperilaku agresif,
anak juga akan berperilaku sama agar bisa mengikuti lingkungannya.
3). Model simbolik. Model ini
biasanya didapatkan anak melalui media televisi dan film yang mengandung
kekerasan.
Referensi
Bracken, B.A. (1996). Handbook of
Self Concept: Developmental, Social, and Clinical Consideration. Canada: John
Wiley & Sons.
Cruickshank, W.M. (1980). Psychology
of Exceptional Children and Youth. New York: Prentice Hall Inc.
Farrel, Peter. (1995). Children with
Emotional and Behavioural Difficulties: Strategies for assesment and Intervention.
London : The Falmer Press.
Harwell, JM. (2001). Complete
Learning Disabilities Handbook. 2nd ed. San Fransisco: John Wiley
& Sons
Kirk, S.A, & Gallagher, J.J.
(1986). Educating Exceptional Children 5th ed. Boston:
Houghton Mifflin Company
Mangunsong, F. (1998). Psikologi
dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Depok: LPSP3
Martin, C.A., Colbert, K.K.(1997). Parenting
A Life Span Perspective. New York : McGraw-Hill
Renfrew, J.W. (1997). Agrression and
Its Causes. New York: Oxford University Press
Weiner, IB. (2003). Handbook of
Psychology. Vol 7 : Educational Psychology. New Jersey: John Wiley & Sons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar